Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019

Perundungan (Bullying)

Foto: Gaya Tempo (Tempo.co) Perundungan berasal dari kata rundung yang berarti menganggu, mengusik, atau yang lebih dikenal dengan istilah bullying.     Kasus Pertama Belasan tahun silam seorang siswi bertubuh bongsor harus jatuh terpelanting di depan kelas karena kakinya dijegal olah salah seorang siswa. Tidak ada yang membantu, sebagian siswa lainnya yang berada di dalam kelas justru tertawa cekikikan. Sisanya hanya menatap dengan wajah bingung, tidak tahu ingin melakukan apa. Jika membantu, kemungkinan besar kemalangan akan berpindah pada mereka karena siswa yang menjegal kaki siswi, sebut saja Vipin,   paling ditakuti di kelas. Pil pahit Vipin masih terus berlanjut. Siswa itu, sebut saja Narto masih gemar mencari ‘hiburan’ dengan membututi Vipin. “Vipin cendang, Vipin Cendang! Dasar bo*oh, Id*ot! ” berkali-kali Narto yang sudah dua kali tinggal kelas itu meneriakkan kalimat yang sama berkali-kali. Tidak lupa pul

Mudik

Foto: Medcom.id/Mohammad Rizal. Beli baju baru? Membuat kue lebaran? Atau menyiapkan mental dan materil untuk mudik ke kampung halaman? Beragam ‘ritual’ yang dilakukan oleh sebagian besar orang muslim untuk menyambut hari Raya Idul Fitri. Tiga hal di atas menjadi kegiatan yang paling sering dilakukan. Hampir semua orang menyibukkan diri untuk mencari baju baru untuk dikenakan di hari lebaran. Aku tidak bisa bilang semua orang karena masih ada masyarakat budiman yang memilih untuk menyelamatkan uangnya ( aku, misalnya). Tidak ada yang salah dengan efiora membeli baju baru. Bahkan sangat dianjurkan bagi yang mampu. Membeli sesuatu akan memberikan kebahagiaan tersendiri tidak hanya dari ia yang membeli. Pedagang baju tentu akan lebih gembira lagi. Namun pernahkah saudara-saudara, kawan-kawan, handai taulan sekalian penasaran kapan kiranya membeli baju baru sebelum Hari Raya Idul Fitri menjadi budaya kita? Sejujurnya aku belum pernah dengar dari guru mengaji jika

Ramadhan

Foto by : MalangToday Ada anak bertanya pada bapaknya Buat apa berlapar-lapar puasa Ada anak bertanya pada bapaknya Tadarus tarawih apalah gunanya Lapar mengajarmu rendah hati selalu Tadarus artinya memahami kitab suci  Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi Dahulu lagu itu selalu populer di bulan Ramadhan dan diputar menjelang waktu berbuka. Yah,bisa di bilang ketika radio masih jaya-jayanya. Meski menjadi grup musik religi di tahun 70-an, lagu ciptaan dari Bimbo tetap selalu menarik untuk diikuti dan dinikmati. Beruntunglah jika kamu merupakan generasi kelahiran tahun 2000 pertengahan. Lagu ini masih teramat dicintai dan diputar riang gembira saban sore hari. Amat disayangkan, kini nyanyian yang berbentuk syair bermakna dalam ini mulai terlupakan oleh guyonan ‘kehidupan’ yang terkadang memang cukup dibutuhkan. Aku secara pribadi sejujurnya masih mengidolakan lagu berjudul ‘Anak Bertanya pada Ayahnya’ hingga sekarang. Aku masih ingat

Sampah

Foto : Aisyah Nursyamsi Sampah Apa yang pertama kali terbayang olehmu jika kata ‘sampah’ keluar begitu saja dari mulut orang-orang? Ejekan? Celaan? Atau memang kata itu keluar karena ingin menunjukkan keberadaan sampah itu sendiri? Aku sendiri tidak punya masalah pribadi dengan ‘si sampah’ ini. Kita belum pernah terlibat dalam permasalahan dan aku belum pernah punya dendam padanya. Cuma ketika pergantian tugas di bulan April ini, semua pandangan itu berubah. Sampah kini telah tanda kontrak untuk berurusan denganku. Aih, tidak. Sebenarnya bukan se’diplomatis itu. Peralihan tugas dari penjaga media sosial kantor menuju lapangan telah mempertemukanku dengan ‘buangan’ manusia ini. “Aisyah, bulan ini kita akan bikin video tentang sampah di Indonesia. Tidak perlu dibuat bercerita. Akan dibantu produser untuk bikinkan storylinenya. Sekarang kamu riset, dimana sampah paling parah berada dan ambil beberapa visual soal sampah.” Sekadar informasi usang yang mungkin s

Maumere Manise (Babak 1)

Menjadi Musafir Sejenak ke Maumere, Flores Hari Pertama, Jumat 29 Maret 2019 Foto: Aisyah Nursyamsi Kalau ku jauh, bayangan mendekap. Ketika menyatu, lanskap membiru. Begitulah kesukaan Tuhan yang gemar menafsirkan, lampau betul dari terjemah akal manusia. Belum ada bayangan jika diri akan melangkah ke Indonesia bagian timur dalam penugasan liputan pertama kali. Sebelumnya tugasku hanyalah seorang admin yang ‘rajin menulis’. Satu bulan berakhir, aku pun transisi ke lapangan, menjadi reporter sekaligus seorang kameramen amatir yang diharuskan peka dan fleksibel memainkan angle. Bulan ke kedua setelah bekerja di tempatku saat ini, Flores, Kabupaten Sikka di kota Maumere menjadi daerah luar kota (lebih tepatnya luar pulau) yang pertama kali ku kunjungi.   Anehnya tidak ada ketakutan apa pun yang muncul saat bepergian. Kecuali kekhawatiran akan kesalahan bagi seorang pemula yang baru berkenalan dengan kamera . Memang seharusnya aku takut. Bukannya lebai atau bagaiman

Jangan Benci, Nanti Berjodoh

Benci Berlebih, Salahkah? Rabu 13 Februari 2018 Pernah dengar pesan yang bilang ‘jangan munculkan rasa benci yang berlebihan. Kelak apa yang kamu benci malah justru didekatkan.’ Sebelumnya aku sempat menyepelekan kalimat yang sering bergulir dari mulut orang-orang tua terdahulu. Setiap orang punya hati dan mereka berhak untuk tidak suka setengah mati atau sebaliknya. Suka sepenuh jiwa. Belakangan banyak peristiwa yang membuat aku berpikir ulang untuk serius menentukan sikap dalam membenci sesuatu.   Semuanya berawal dari mata kuliah wajib yang diajarkan setiap minggu di kelas kami yaitu fotografi di semester lima. Kira-kira dua tahun silam.  Sebenarnya tidak ada yang masalah. Kalian tahulah bagaimana perasaan anak kampung macam aku ini melihat kamera pertama kali. Bukan main gembiranya. Berikut dengan sikap norak yang menganggap kamera DSLR macam Canon dan Nikon adalah benda berharga. Padahal hakikatnya sifat benda-benda seperti itu biasa saja. Pertama kal

Pengakuan.1 (Senin 11/03/2019)

Ketika angin kehilangan sumbu, serta merta api telah hampa akan keberadaanya. Tidak ada yang bersepakat, karena ruh telah terbakar menjadi abu. Tanpa ada awalan lagi untuk menjadi api. Entah sapaan apa  yang sepertinya cukup menarik untuk ku bawakan pada awal pembukaan tulisan ini. Jemariku sudah lumayan kaku karena tidak terbiasa menulis karena keinginan diri sendiri. Belakangan tuntutan skripsi dan pekerjaan membuatku sedikit ‘terpaksa’ menulis di bawah kehendak sendiri. Semua serba ritme, tuntutan, dan sedikit pemerkosaan jiwa yang aku nikmati jua pada akhirnya. Maafkan jika banyak kekakuan yang ku tuliskan. Mungkin ku tulis ini sebagai bentuk pengakuan dari diri yang terlalu lama berpura-pura untuk pandai menyenangkan hati banyak orang. Suatu upaya yang cukup payah untuk dilakukan olehku. Sampai sekarang aku tidak pernah berhasil melakukannya. Banyak pertanyaan yang tumbuh begitu saja tanpa tercapainya sebuah jawaban. Aku hidup berlagak seakan bergairah.