Skip to main content

Pengakuan.1 (Senin 11/03/2019)


Ketika angin kehilangan sumbu, serta merta api telah hampa akan keberadaanya.
Tidak ada yang bersepakat, karena ruh telah terbakar menjadi abu.
Tanpa ada awalan lagi untuk menjadi api.

Entah sapaan apa  yang sepertinya cukup menarik untuk ku bawakan pada awal pembukaan tulisan ini. Jemariku sudah lumayan kaku karena tidak terbiasa menulis karena keinginan diri sendiri. Belakangan tuntutan skripsi dan pekerjaan membuatku sedikit ‘terpaksa’ menulis di bawah kehendak sendiri. Semua serba ritme, tuntutan, dan sedikit pemerkosaan jiwa yang aku nikmati jua pada akhirnya. Maafkan jika banyak kekakuan yang ku tuliskan.


Mungkin ku tulis ini sebagai bentuk pengakuan dari diri yang terlalu lama berpura-pura untuk pandai menyenangkan hati banyak orang.
Suatu upaya yang cukup payah untuk dilakukan olehku. Sampai sekarang aku tidak pernah berhasil melakukannya.


Banyak pertanyaan yang tumbuh begitu saja tanpa tercapainya sebuah jawaban.
Aku hidup berlagak seakan bergairah.
Tapi nyatanya tubuh ini hanyalah cangkang yang terisi oleh jiwa yang sakit
Mungkin terlihat hidup normal lebih kepada caraku untuk menghabiskan jatah hidup yang diberi Tuhan. Aku sengajak sedikit menggeliatkan tubuh agarv tidak teronggok begitu saja. Ternyata diam lalu mati tanpa arti untuk dikenang cukup menakutkan juga.


Apa yang ku perjuangkan?
Dahulu, ada satu prasangka jika aku adalah perempuan istimewa yang punya banyak mimpi dan pengharapan. Pelan-pelan prasangka itu mengabur dan aku menyadari jika aku tak punya pacuan apa-apa. Bukan main pecundangnya aku ini.


Kawanku terdahulu telah menyerah dengan umur dan lingkungan selingkung.
Sebut saja namanya Senja. Kami bersepakat untuk melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Seumur hidupku mengenal manusia, hanya ia makhluk yang ku anggap setara. (Jangan bayangkan tentang kelas-kelas. Setara bagiku berbeda). Ia mengerti dengan segala keanehan yang aku miliki. Senja paham betul bagaimana menangani semangatku mengebu-ngebu bagai api yang dipantik oleh angin liar. Kawanku ini pun pandai memadamkan badai yang seringkali menyapu hati dengan matanya yang berbinar. Lengkap dengan senyum  merekah bak buah semangka di bulan Januari. Senja selalu pandai menari di saat aku tengah bersedih.


Aku pernah main balap motor dengannya. Meski orang menganggapku hal ini cukup kekanakan bagi perempuan sulung Minang sepertiku, ia selalu meladeni kesepakatan iseng ini. Aku sering berbuat onar di dalam kelas dengan berlagak bisa pergi ke luar negeri sana. Aku sengaja menuliskannya di papan tulis ketika istirahat tiba agar semua orang melihat dan tertarik. Kebanyakan di antara yang membaca tertawa, sebagian besar ada yang tersenyum tapi bukan mengamini. Namun hanya Senja yang malah menepuk bahuku sambil berkata ‘coba saja, kita tentukan kapan waktunya’.
Ia selalu setuju dengan semua ide gila yang ku katakan.


Kami berhasil. Setidaknya itu yang ku pikirkan ketika kami berdua sama-sama menginjakkan kaki ke perguruan tinggi.


Aku dengan mimpi perempuan polos yang membawa setampuk gagasan dan sedikit keahlian ‘menulis.’ (Saat ini malah aku merasa apa yang dihasilkan oleh tanganku itu hanya coret-coretan tidak beraturan).


Senja pun demikian.


Ia memutuskan untuk tetap di provinsi kelahiran dengan alasan ada dua tampuk yang ingin beliau emban.


Aku tetap berbaik sangka pada lingkungan baru. Benar-benar keputusan bunuh diri yang memuakkan. Awal-awal tahun aku selalu memberi kabar beruntun pada kawanku ini tentang cerutu berasap, angin malam yang tidak seliar di sana. Juga api-api yang meredup oleh gesekan budaya yang tidak lagi ramah. Sialnya aku masih saja berbaik sangka. Tetap menaruh hati pada Jawa yang kini telah dipijaki.


Aku masih perempuan Minang biasa kala itu. Masih berbangga jadi anak ibu.
Tapi hati yang putih telah terkikis ole kuas. Keputusan berprasangka baik mulai pada tahap pencabutan. Ingin rasanya berbalik pulang. Tapi tahu apa aku waktu itu dengan rasa hampa. Sepanjang ingatan hanya buah tangan yang terpikirkan. Nanti jika tiba di rumah bisa apa kau sebagai perempuan?
Maka terus ditahan dengan memupuk ketidakpedulian. Padahal sebenarnya ada yang tersayat dari dalam saban hari ketika menghempas tubuh di atas ranjang yang bukan kasur.

Kuatlah aku dengan topeng yang dilekatkan pada mukaku.
Setelah hitam yang setitik itu telah menjadi ribu dan benar-benar menutup.
Masihkan aku menjadi anak ibu?

Puncaknya adalah setelah aku membunuh sebagian dari tubuh, hati, dan keajaiban Tuhan yang sempat melekat.

Ternyata aku adalah naif itu sendiri.
Anak ibu itu tidak ada lagi. Perempuan itu pun kini tidak di sini.

Rasa rindu pun menjalar pada kawan lamaku, Senja.
Bertahun tidak dengar kabar, aku memutuskan untuk  bertanya. Mungkin dia lebih mahir. Atau dia sudah lebih berjaya dari pada diriku yang telah berdarah-darah.
Namun aku tidak tahu apakah ini kabar baiknya atau buruk untuk tubuhku yang telah mengada-ngada.


Senjaku ternyata memilih menjadi sebagaimana ‘perempuan baik’ pada umumnya. Menikah, membangun keluarga. Menjadi perempuan terpilih dengan menanggung benih suci. Lalu menua bersama seseorang yang dipercayainya.
Apa itu buruk? Tidak. Apakah pilihan kawanku itu melawan emansipasi perempuan atau telah mencela perjuangan kaumku? Tidak.
Ini hanya soal pilihan, dan Senja telah memilih jalannya.
Meski ia telah mengkaramkan semua mimpi-mimpi kami. Senja telah terselamatkan dengan pilihan yang telah ia buat. Mungkin ini kesimpulanku yang paling mendasar.

Jadi apakah harus berhenti pula?
Lagi-lagi aku tidak punya jawabannya.


Comments

Popular posts from this blog

Last Wekkend (Bag.1)

Aku, Hanyo, dan Pohon Sakura Add caption Sudah lewat tengah malam, dan aku masih terjaga. Jenis manusia macam apalah aku ini. Bahkan sudah beberapa butir obat tidur yang ku telan, tapi belum ada tanda-tanda bahwa aku akan segera tidur. Insomnia yang rasanya semakin parah saja. Sejak kapan ya? Sebelum ini rasanya baik-baik saja. Bahkan sebelum Isa datang, mataku rasanya terlalu berat untuk dibuka. Apa yang aku pikirkan? “Kita jelas-jelas tidak cocok,” kalimat yang masih tergurat rapi di ingatan. Aku tersenyum gila, sembari menatap kaca. Tidak cocok katanya? “Lah, kenapa? kita sama-sama suka Harry Potter, melihat senja di pantai, melakukan sesuatu yang asik di luar, menulis puisi, dan ada beberapa buku yang...” “Apa kamu tidak mengerti juga? kita tidak akan pernah cocok untuk lebih, menjadi sahabat adalah pilihan terbaik,” lanjutnya lagi, meninggalkan beberapa guratan wajah tanpa ekspresi lal meninggalkanku begitu saja bersama bias-bias magenta yang hampir menghilang

Tips Khatam Al-Quran Saat Ramadhan Bagi Perempuan

Foto: Google Bulan suci Ramadhan menjadi momen terbaik bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia untuk meningkatkan intensitas dan kualitas ibadah. Setiap orang berlomba-lomba berbuat kebaikan demi mengejar ridho dan pahala yang dilipatgandakan oleh Allah SWT. Pelbagai jenis ibadah dilakukan, salah satunya membaca Al-Quran. Membaca Al-Quran   menjadi salah satu ibadah favorit yang kerap dilakukan saat bulan Ramadhan. Selain sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah, saat membaca satu huruf dalam Al-Quran maka akan dinilai dengan satu kebaikan pula dan dikalikan sepuluh. Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu bersabda: “Barang siapa yang membaca satu huruf di dalam kitab Allah (Al-Quran) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan dengan sepuluh (pahala). Aku tidak mengataman Alif Laam Mim adalah satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Mim satu huruf. (HR. Tirmidzi) Karena itulah, banyak yang berkeinginan untuk meng

Sampah

Foto : Aisyah Nursyamsi Sampah Apa yang pertama kali terbayang olehmu jika kata ‘sampah’ keluar begitu saja dari mulut orang-orang? Ejekan? Celaan? Atau memang kata itu keluar karena ingin menunjukkan keberadaan sampah itu sendiri? Aku sendiri tidak punya masalah pribadi dengan ‘si sampah’ ini. Kita belum pernah terlibat dalam permasalahan dan aku belum pernah punya dendam padanya. Cuma ketika pergantian tugas di bulan April ini, semua pandangan itu berubah. Sampah kini telah tanda kontrak untuk berurusan denganku. Aih, tidak. Sebenarnya bukan se’diplomatis itu. Peralihan tugas dari penjaga media sosial kantor menuju lapangan telah mempertemukanku dengan ‘buangan’ manusia ini. “Aisyah, bulan ini kita akan bikin video tentang sampah di Indonesia. Tidak perlu dibuat bercerita. Akan dibantu produser untuk bikinkan storylinenya. Sekarang kamu riset, dimana sampah paling parah berada dan ambil beberapa visual soal sampah.” Sekadar informasi usang yang mungkin s