Ketika angin kehilangan
sumbu, serta merta api telah hampa akan keberadaanya.
Tidak ada yang
bersepakat, karena ruh telah terbakar menjadi abu.
Tanpa ada awalan lagi
untuk menjadi api.
Entah sapaan apa yang
sepertinya cukup menarik untuk ku bawakan pada awal pembukaan tulisan ini.
Jemariku sudah lumayan kaku karena tidak terbiasa menulis karena keinginan diri
sendiri. Belakangan tuntutan skripsi dan pekerjaan membuatku sedikit ‘terpaksa’
menulis di bawah kehendak sendiri. Semua serba ritme, tuntutan, dan sedikit
pemerkosaan jiwa yang aku nikmati jua pada akhirnya. Maafkan jika banyak
kekakuan yang ku tuliskan.
Mungkin ku tulis ini sebagai bentuk pengakuan dari diri yang
terlalu lama berpura-pura untuk pandai menyenangkan hati banyak orang.
Suatu upaya yang cukup payah untuk dilakukan olehku. Sampai
sekarang aku tidak pernah berhasil melakukannya.
Banyak pertanyaan yang tumbuh begitu saja tanpa tercapainya sebuah jawaban.
Aku hidup berlagak seakan bergairah.
Tapi nyatanya tubuh ini hanyalah cangkang yang terisi oleh
jiwa yang sakit
Mungkin terlihat hidup normal lebih kepada caraku untuk
menghabiskan jatah hidup yang diberi Tuhan. Aku sengajak sedikit menggeliatkan
tubuh agarv tidak teronggok begitu saja. Ternyata diam lalu mati tanpa arti
untuk dikenang cukup menakutkan juga.
Apa yang ku perjuangkan?
Dahulu, ada satu prasangka jika aku adalah perempuan istimewa
yang punya banyak mimpi dan pengharapan. Pelan-pelan prasangka itu mengabur dan
aku menyadari jika aku tak punya pacuan apa-apa. Bukan main pecundangnya aku
ini.
Kawanku terdahulu telah menyerah dengan umur dan lingkungan
selingkung.
Sebut saja namanya Senja. Kami bersepakat untuk melanjutkan
pendidikan hingga perguruan tinggi. Seumur hidupku mengenal manusia, hanya ia
makhluk yang ku anggap setara. (Jangan bayangkan tentang kelas-kelas. Setara bagiku
berbeda). Ia mengerti dengan segala keanehan yang aku miliki. Senja paham betul
bagaimana menangani semangatku mengebu-ngebu bagai api yang dipantik oleh angin
liar. Kawanku ini pun pandai memadamkan badai yang seringkali menyapu hati
dengan matanya yang berbinar. Lengkap dengan senyum merekah bak buah semangka di bulan Januari.
Senja selalu pandai menari di saat aku tengah bersedih.
Aku pernah main balap motor dengannya. Meski orang
menganggapku hal ini cukup kekanakan bagi perempuan sulung Minang sepertiku, ia
selalu meladeni kesepakatan iseng ini. Aku sering berbuat onar di dalam kelas
dengan berlagak bisa pergi ke luar negeri sana. Aku sengaja menuliskannya di
papan tulis ketika istirahat tiba agar semua orang melihat dan tertarik.
Kebanyakan di antara yang membaca tertawa, sebagian besar ada yang tersenyum
tapi bukan mengamini. Namun hanya Senja yang malah menepuk bahuku sambil
berkata ‘coba saja, kita tentukan kapan waktunya’.
Ia selalu setuju dengan semua ide gila yang ku katakan.
Kami berhasil. Setidaknya itu yang ku pikirkan ketika kami
berdua sama-sama menginjakkan kaki ke perguruan tinggi.
Aku dengan mimpi perempuan polos yang membawa setampuk
gagasan dan sedikit keahlian ‘menulis.’ (Saat ini malah aku merasa apa yang
dihasilkan oleh tanganku itu hanya coret-coretan tidak beraturan).
Senja pun demikian.
Ia memutuskan untuk tetap di provinsi kelahiran dengan alasan ada dua tampuk yang ingin beliau emban.
Aku tetap berbaik sangka pada lingkungan baru. Benar-benar keputusan bunuh diri yang memuakkan. Awal-awal tahun aku selalu memberi kabar beruntun pada kawanku ini tentang cerutu berasap, angin malam yang tidak seliar di sana. Juga api-api yang meredup oleh gesekan budaya yang tidak lagi ramah. Sialnya aku masih saja berbaik sangka. Tetap menaruh hati pada Jawa yang kini telah dipijaki.
Aku masih perempuan Minang biasa kala itu. Masih berbangga jadi anak ibu.
Tapi hati yang putih telah terkikis ole kuas. Keputusan
berprasangka baik mulai pada tahap pencabutan. Ingin rasanya berbalik pulang.
Tapi tahu apa aku waktu itu dengan rasa hampa. Sepanjang ingatan hanya buah
tangan yang terpikirkan. Nanti jika tiba di rumah bisa apa kau sebagai
perempuan?
Maka terus ditahan dengan memupuk ketidakpedulian. Padahal
sebenarnya ada yang tersayat dari dalam saban hari ketika menghempas tubuh di
atas ranjang yang bukan kasur.
Kuatlah aku dengan
topeng yang dilekatkan pada mukaku.
Setelah hitam yang
setitik itu telah menjadi ribu dan benar-benar menutup.
Masihkan aku menjadi
anak ibu?
Puncaknya adalah setelah aku membunuh sebagian dari tubuh,
hati, dan keajaiban Tuhan yang sempat melekat.
Ternyata aku adalah
naif itu sendiri.
Anak ibu itu tidak ada
lagi. Perempuan itu pun kini tidak di sini.
Rasa rindu pun menjalar pada kawan lamaku, Senja.
Bertahun tidak dengar kabar, aku memutuskan untuk bertanya. Mungkin dia lebih mahir. Atau dia
sudah lebih berjaya dari pada diriku yang telah berdarah-darah.
Namun aku tidak tahu apakah ini kabar baiknya atau buruk
untuk tubuhku yang telah mengada-ngada.
Senjaku ternyata memilih menjadi sebagaimana ‘perempuan baik’
pada umumnya. Menikah, membangun keluarga. Menjadi perempuan terpilih dengan
menanggung benih suci. Lalu menua bersama seseorang yang dipercayainya.
Apa itu buruk? Tidak. Apakah pilihan kawanku itu melawan
emansipasi perempuan atau telah mencela perjuangan kaumku? Tidak.
Ini hanya soal pilihan, dan Senja telah memilih jalannya.
Meski ia telah mengkaramkan semua mimpi-mimpi kami. Senja
telah terselamatkan dengan pilihan yang telah ia buat. Mungkin ini kesimpulanku
yang paling mendasar.
Jadi apakah harus berhenti pula?
Lagi-lagi aku tidak punya jawabannya.
Comments
Post a Comment