Benci Berlebih, Salahkah?
Pernah dengar pesan
yang bilang ‘jangan munculkan rasa benci yang berlebihan. Kelak apa yang kamu
benci malah justru didekatkan.’
Sebelumnya aku sempat menyepelekan kalimat yang sering
bergulir dari mulut orang-orang tua terdahulu. Setiap orang punya hati dan
mereka berhak untuk tidak suka setengah mati atau sebaliknya. Suka sepenuh
jiwa.
Belakangan banyak peristiwa yang membuat aku berpikir ulang
untuk serius menentukan sikap dalam membenci sesuatu.
Semuanya berawal dari mata kuliah wajib yang diajarkan setiap
minggu di kelas kami yaitu fotografi di semester lima. Kira-kira dua tahun
silam. Sebenarnya tidak ada yang masalah.
Kalian tahulah bagaimana perasaan anak kampung macam aku ini
melihat kamera pertama kali. Bukan main gembiranya. Berikut dengan sikap norak
yang menganggap kamera DSLR macam Canon dan Nikon adalah benda berharga.
Padahal hakikatnya sifat benda-benda seperti itu biasa saja.
Pertama kali adalah saat berada di bangku perkuliahan, aku
sudah mematek betul jika kemampuan yang dipunya adalah menulis. Tidak dengan
statistika yang harus bergulat dengan angka-angka, begitu pula dengan visual
yang bermain dengan objek gambarnya. Jadilah ada buah perasaan tidak ingin agar
bisa betah selama belajar ini berlangsung.
Pribahasa tak kenal
maka tak sayang sepertinya benar-benar ampun menjarah diriku yang langsung
memberikan sugesti pada diri sendiri, aku
tidak mahir bermain visual. Ya, meski mengoperasikan kamera tidak ada
kesulitan apa-apa, aku selalu malas ketika berada di kelas.
Malas yang berujung benci.
Ketidaksukaan muncul karena aku selalu terbelakang dalam
memahami pelajaran fotografi di kelas. Padahal dosen pengampu adalah salah satu
fotografer terbaik negeri ini. Sayangnya aku tidak memamfaatkan keberuntungan
yang jarang terjadi di dapatkan orang lain.
Di sinilah malapetakanya.
Jarang masuk kelas dan ikut organisasi selalu jadi alasannya.
Abstain menghiasi absensi ku di tangan dosen fotografi ini. Begitu terus,
sampai Ujian Tugas Semseter (UTS) pun tidak ku jambangi berikut dengan tugas Ujian
Akhir Semester (UAS) yang asal jadi.
Bukan tidak mungkin jika akhirnya nilai ‘D’ yang ku dapat
dari mata kuliah yang sudah ku jadikan daftar ini. Saking bencinya aku menunda untuk
mengulang mata kuliah ini di semester selanjutnya dan justru fokus menjadi
freelencer di luar sana (walau menjadi frelencer juga punya posisi positifnya
juga).
Namun di penghujung semester tua, mau tidak mau aku tentu
harus menuntaskan perkuliahan sebagai syarat kelulusan. Apa hendak dikata
saudara, mata kuliah yang kerap kali dihindari pun harus bertemu jua. Kali ini
mau tidak mau aku harus berusaha mengejar. UTS pun aku laksanakan meski banyak
jawaban yang hampa alias tidak ada isinya. Benar-benar memalukan untuk
mahasiswa semester 9 yang sudah bangkotan di kelasnya (Ya pasti, kan bercampur
dengan adik kelas).
Cukup menguras jiwa, tidak sampai energi sih. Aku harus
menentukan subjek foto story sebagai tugas UAS. Cukup jauh, yaitu Tanjung Periuk.
Meski masih Jakarta, untuk ukuran mahasiswa yang menetap di Ciputat, Tanjung
Periuk adalah momok macet di jalanan. Apa lagi aku sebelumnya belum pernah ke
sana, jadilah semua tindakanku adalah perbuatan nekad.
Herannya, ketika orangtuaku bergumam khawatir mengingat
Tanjung Periuk terkenal dengan ‘angkernya’, aku malah tidak merasakan apa-apa.
Semester selesai, nilai pun keluar. Ya meski sedikit
berdarah-darah aku hanya sukses naik satu tingkat yaitu ‘C’. Cukuplah untuk
lulus dan sidang.
Meski begitu, rasa tidak suka itu masih belum hilang. Aku
bahkan sempat berazam untuk tidak mengambil sesuatu yang berkaitan dengan
visual. Bidangku tetap menulis, tidak ada yang lain. Begitu terus sampai aku
bertekad untuk menghindari pekerjaan berbau visual.
Alih-alih jauh, visual malah benar-benar didekatkan padaku.
Lamaran kerja yang tidak ku teliti betul dari mana.
Allhamdulillah, puji Tuhan aku terpilih dari ratusan berkas dan belasan peserta
wawancara.
Tahu tidak?
Meski syaratnya memang pandai menulis dan mengirimkan contoh
tulisan, mahir mengambil gambar menjadi suatu kewajiban.
Aku dengan tiga kawan yang terpilih diposisikan menjadi Video
Journalis (VJ) yang notabene memang harus berbaur dan akrab dengan kameramen.
Sebenarnya kasus ‘profesi’ ini hanya satu dari ribuan kasus
yang pernah ku alami. Tapi pepatah yang tertulis paling atas akan terus jadi pancang erat untukku.
Itulah kenapa aku memberi judul pada tulisan ini 'Jangan Benci, Nanti Berjodoh'.
Ya seperti aku yang lebih gemar memegang pena ketimbang kamera, kini mau tidak mau harus mulai mencintai visual.
Pembaca punya pengalaman yang sama?
Comments
Post a Comment