Aku, Hanyo, dan Pohon Sakura
Add caption |
Sudah lewat tengah malam, dan aku
masih terjaga. Jenis manusia macam apalah aku ini. Bahkan sudah beberapa butir
obat tidur yang ku telan, tapi belum ada tanda-tanda bahwa aku akan segera
tidur. Insomnia yang rasanya semakin parah saja. Sejak kapan ya? Sebelum ini
rasanya baik-baik saja. Bahkan sebelum Isa datang, mataku rasanya terlalu berat
untuk dibuka.
Apa yang aku pikirkan?
“Kita jelas-jelas tidak cocok,”
kalimat yang masih tergurat rapi di ingatan. Aku tersenyum gila, sembari
menatap kaca. Tidak cocok katanya?
“Lah, kenapa? kita sama-sama suka
Harry Potter, melihat senja di pantai, melakukan sesuatu yang asik di luar,
menulis puisi, dan ada beberapa buku yang...”
“Apa kamu tidak mengerti juga? kita
tidak akan pernah cocok untuk lebih, menjadi sahabat adalah pilihan terbaik,”
lanjutnya lagi, meninggalkan beberapa guratan wajah tanpa ekspresi lal
meninggalkanku begitu saja bersama bias-bias magenta yang hampir menghilang.
Aku bahkan sampai sulit membolak-balikkan kalimat apa yang harus dilontarkan
untuk mencegahnya pergi.
Tapi kalimat yang barusan bukan sekali
dua, berkali-kali dan kami bisa meredamnya. Tidak, tapi akulah sebenarnya yang
meredam kalimat mengerikan itu. Kalimat yang ingin melepaskan, dan aku tidak
tahu dimana ketidakcocokan kami. Kali ini, biarlah. Aku harus membiarkan orang
yang benar-benar ingin ‘bebas’ (terkesan mengikat, apa begitukah aku?). Aku
kembali menatap cermin, dan kali ini tertawa ringan, ada yang lucu dengan
hidupku. Kenapa semua orang terbiasa untuk datang pergi? Apa ada tulisan
‘halte’ di keningku, sehingga banyak orang yang hanya singgah beberapa saat,
lalu pergi begitu saja?
Lalu siapa yang seharusnya aku hubungi
sekarang ini? laki-laki itu satu-satunya yang bisa ku percaya. Dan ketika dia
mengatakan hal mengerikan, beberapa waktu yang lalu, rasanya aku seperti tidak
punya apa-apa untuk berpegang. Itukah salah satu penyebab insomnia yang
berlarut-larut hingga beberapa minggu ini?
Tidak, bukan hanya ini saja. Beberapa
orang terdekat sepertinya juga mulai menjauh seiring perubahanku ini. Beberapa
sahabat, bahkan mulai seenaknya memarahiku. Entah karena terlalu pendiam dan
mulai tidak menyenangkan bagi mereka, entahlah. Aku tidak tahu. Bagaimana pula
aku harus menjawab?
“Manusia itu makhluk egois bukan?”
gumamku, menatap bayangan di cermin. Tubuh tambun dengan rambut kusut
masai menjadi pemandangan di depanku
saat ini. Ada kantong mata yang tergurat hitam di sana. Sejak kapan itu muncul?
Aih, sepertinya insomnia bahkan telah membuatku tidak peduli dengan diri
sendiri.
Tubuh itu tertawa, tidak. Tapi aku.
“Lalu apa yang kau tunggu. Bukankah kau sendirian? Lalu kenapa memutuskan untuk
bertahan di sini. Sebaiknya kau ikut aku.”
Aku benar-benar terkejut. Kalimat
terakhir bukan aku yang mengatakan. Itu murni, suara dari bayangan yang berada
di cermin.
“Apa bayanganku sendiri yang..”
Bukan, saat ini bayangan yang ada di cermin bukanlah
milikku. Di sana sudah jelas laki-laki yang berdiri di sana. Aku tidak kenal
dia. Lantas siapa? Aku menengok ke belakang. Tidak ada siapa pun yang sedang
berdiri di depan cermin, selain aku. Kamar ku kosong dan semua orang seisi
kamar, sudah tertidur pulas. Tiba-tiba bulu kudukku meremang.
“Siapa
kau?
👏👏
ReplyDelete:D :D
ReplyDelete