Kecuali
Aisyah Nursyamsi
“ Ada masalah?”
Aku menggeleng. “Ooh, Baiklah”. Kata
laki-laki itu dengan nada datar. Seperti biasa, sahabatku selalu terlihat tidak
peduli setiap harinya.
“Bukan, ini hanya tentang bunda.”
Jawabku sambil tersenyum kearah Deka yang terus memandangi laptop apple bewarna
metalik, miliknya itu.
“Tentang Perjodohan?” jawabnya ringan.
Aku mengangguk lemah. Bagaimana bisa Deka sesantai itu mengatakan kata
‘perjodohan’. Aku saja harus bersusah payah menghindari mengucapkan kata itu. Deka
benar-benar tidak punya jiwa untuk memahami hati seorang wanita.
“Bilang saja tidak ingin, apa
susahnya.” Katanya lagi.
“Aku sudah bilang sebelumnya sama
Bunda, tapi kali ini rasanya lebih rumit.” Aku terdiam sebentar. “ Kali ini
Bunda mengenalkanku dengan Desta.” Lanjutku sambil menarik nafas panjang.
Bunda mulia mendesakku untuk
memutuskan masa lajang ini. Menurutnya gadis seusiaku sudah sangat terlambat
untuk menikah. Itu hanya pendapat Bunda dan beberapa orang di luar sana.
Tunggu, mungkin aku salah jika mengatakan hanya beberapa orang. Hampir sebagian
orang yang ku kenal selalu mengatakan hal yang sama seperti Bunda.
Menurutku usia 27 belumlah terlambat
untuk memulai semua hal. Bunda memang orang yang pencemas. Mungkin akhir-akhir
ini banyak anak dari teman-temannya yang sepantaranku sudah bisa menimang anak,
sedangkan aku? Menikah saja belum.
Bunda bilang ingin melihat aku,
anaknya bahagia. Katanya, sudah terlalu lama aku memikirkan dirinya. Kata
Bunda, aku sudah mulai harus memikirkan masa depanku dan melihatku bahagia.
Omong kosong, semua yang ku lakukan adalah untuk melihat Bunda. Melihat Bunda selalu
tersenyum, adalah menjadi kebahagian tersendiri buatku. Lalu kebahagian mana
lagi yang ku butuhkan?
Aku bukannya tidak menyukai perjodohan
ini. Hanya saja, aku masih berpikir jika ini belum waktunya. Aku tidak pernah
memimpikan untuk menikah. Aku seorang wartawan, dan semua orang tahu bagaimana
awak media bekerja. Mereka menghabiskan waktu di luar rumah. Aku paham betul
bagaimana kewajiban seorang wanita ketika telah berumah tangga nantinya. Akan
banyak waktu yang tersita nantinya.
Lagi pula aku sudah bersama Bunda
selama ini. jadi aku sudah melihat banyak hal dari laki-laki yang dengan
terpaksa ku panggil ayah itu. Laki-laki kasar yang selalu memaksa Bunda untuk
banting tulang mencari uang. Aku selalu berpikir jika semua laki-laki hanya
membutuhkan perempuan, bukan menginginkannya.
Tunggu, sepertinya aku harus merevisi ulang kata-kata
tadi. Tidak, tidak semua. Masih ada satu laki-laki yang tak sama. Deka jauh
untuk bisa aku samakan dengan laki-laki di luar sana. Kau akan langsung bisa
menilainya jika sudah berkenalan dengan sahabatku sedari kecil ini.
Aku sebenarnya selalu menolak dengan
halus. Hingga pada malam tadi, ketika aku masih sibuk mengurusi beberapa
laporan berita, Bunda datang dan membujukku. Bunda bersikeras untuk memilihkanku
jodoh. Mungkin karena Bunda tidak menemukan tanda-tanda bahwa akan adanya
seorang laki-laki yang datang ke rumah kami (selain Deka), untuk ku kenalkan.
Maka Bunda berniat untuk ‘menyegerakan’ dengan caranya.
Dengan wajah yang begitu, Bunda
mengatakan jika ini bukan permintaan. Tapi perintah. Bunda memang selalu jarang
menggunakan kata perintah kepadaku. Namun ketika sudah ke luar, aku tidak
pernah sekali pun berusaha untuk membatah. Aku sudah berjanji agar memenuhi apa
pun yang Bunda perintahkan kepadaku.
“Jangan Desta,” Deka tiba-tiba
mengalihkan pandangannya ke laptop, lalu memandangku dengan sangat serius. “Dia
bukan orang yang baik”. setelah mengucapkan hal itu, Deka kembali menyibukkan
diri kembali.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyaku
heran. Bagaimana Deka bisa langsung menilai orang hanya dengan menyebutkan
namanya saja. Apa salahnya dengan Desta? Laki-laki itu keliatannya baik.
Aku sering melihatnya di beberapa
forum agama ketika masih zaman kuliah. Deka pun tahu itu karena kami memang
satu kampus. Bunda pun mengenal Desta karena orangtuanya adalah teman Bunda
ketika masih di bangku sekolah menengah atas. Desta berasal dari keluarga yang
baik.
“Kemarin aku melihatnya bersama
laki-laki di sebuah mal. . .” jawab Deka yang langsung ku potong dengan gelak.
Baru kali ini Deka memberikan alasan tidak logis semacam itu kepadaku. Tapi
tiba-tiba Deka berkata lagi.
“Sambil bergandengan tangan,” lanjutnya pelan.
Kata pendek yang cukup untuk membuatku diam beberapa menit lamanya. Cepat-cepat
ingin menghabiskan capucino cream yang ku pesan beberapa menit yang lalu. Aku
ingin mengatakan sesuatu, tapi Deka ternyata memahami benar isi kepalaku “
Nanti akan ku bilang pada Bunda, tenang saja.” dan aku langsung tersenyum
senang. Deka pun juga ikut tersenyum.
Tapi beberapa saat kemudian aku
kembali memikirkan kondisi Bunda yang kian hari makin menurun. Maag kronis dan
darah tinggi ‘miliknya’ itu, sudah belakangan ini mulai membuatku khawatir.
“Sudahlah, kenapa begitu cemas?”
Katanya memecah keheningan. “Kenapa begitu cemas, katamu? Bunda saat ini
sakit-sakitan dan mengatakan jika pernikahanku adalah permintaan yang terakhir,
bagaimana..”
“Bukankah kau tidak ingin menikah?”
Potong Deka, aku langsung terdiam. Dia benar. Bukankah kita punya prinsip yang
sama. Aku tidak akan menikah, begitu pula dengan Deka. Tapi aku ingin melihat
Bunda bahagia.
“Bukankah kau membenci laki-laki?”
Kata laki-laki berpostur jangkung itu, sambil menyeruput kopi yang tak lagi
panas di hadapannya itu. Deka melirik ke arah jam metalik di tangan kanan
miliknya itu. Melipat laptop apple lalu memasukkannya dengan rapi ke
dalam ransel. Tunggu. Deka sialan. Dia akan pergi begitu saja setelah
melemparkan pertanyaan yang lebih mirip pernyataan itu?”
Deka sudah pergi. tapi tiba-tiba aku
kembali mengingat siluet masa lalu.
***
“Aku benci ayah, aku benci semua
laki-laki,” kataku setengah terisak. Hari itu hujan, dan awan di atas kami
menggumpal bewarna hitam pekat. Aku tidak peduli seragam putih merahku basah
kuyup. Begitu pula dengan deka.
“Bundamu dipukul lagi?” Tanyanya
sambil menatapku dengan mata nanar. Aku mengangguk pelan tanda mengiyakan. Deka
langsung mendesis. Aku tahu dia sedang marah.
“Dan kau juga?”
Aku mengangguk sekali lagi. Pelan Deka
meraih pergelangan tanganku yang biru lebam. Pelipisku sepertinya masih
mengeluarkan darah segar. Beberapa kali ku lihat Deka menghapusnya dengan tisu.
Tapi sepertinya usaha itu tidak berhasil. Darah masih saja mengucur. Untuk
pertama kalinya, aku melihat raut wajah Deka berubah-rubah, pertama marah, lalu
iba. Biasanya Deka tidak pernah memberikan ekspresi apa-apa.
“Hari ini Bunda Cuma dapat sepuluh
ribu. Ayah bilang Bunda pemalas.” Aku kembali sesegukkan. Menceritakan ini
rasanya sakit sekali, walaupun bukan satu atau dua kali. “Ayah sepertinya
sedang mabuk, dia memukul Bunda, Ka. Melempari Bunda dengan barang-barang.
Ketika Ayah melemparkan piring ke arah Bunda, aku berusaha untuk melindunginya.
Dan piring itu. . piring itu mengenai kepalaku.” Aku terus menangis ketika
menceritakan hal itu, beberapa kali aku mengilap ingus yang terus ikut mengalir.
Deka tetap diam seperti biasa. Hujan
semakin deras, dan hari sepertinya semakin sore. Aku tidak ingat kapan aku
berlari meninggalkan rumah menuju kali di bawah jembatan, tempat biasa aku dan Deka
mengumpulkan sampah dan bermain.
“ Ayah berkata kepadaku, jadilah kau
sundal. Setidaknya kau bisa menghasilkan banyak uang untukku, apa itu sundal?
Tahukah kamu perihal sundal itu Ka?”
Deka menggeleng. “Aku tidak tahu,
Rinai.” Dia terdiam sebentar “Jangan sampai kau tahu,” katanya lagi sembari
merobek seragam putih miliknya dan lalu mengikatnya ke pelipisku yang
berdarah-darah.
“Aku tidak ingin menikah,” kataku
tiba-tiba. “Karena aku benci laki-laki. Tapi aku tidak benci sama Deka.”
Tambahku cepat-cepat.
“Aku juga, aku tidak akan menikah
dengan wanita lain”.Deka tersenyum kepadaku “ Tapi nanti tetap bersama ya”.
Entah apa yang kami pikirkan waktu
itu. Bahkan aku tidak mengerti dengan apa yang kami janjikan. Tapi sampai
sekarang, prinsip itu masih kami pegang.
***
Aku Deka. Umurku 27 tahun, dan aku
belum menikah. Pun aku juga belum punya keinginan untuk melakukan hal itu.
Entahlah, mungkin karena tidak ada wanita yang pantas. Wanita adalah sundal,
awalnya aku beranggapan seperti itu. semua anggota tubuh yang Tuhan berikan
kepada mereka, menurutku adalah sebuah kutukan.
Lihatlah apa yang sundal itu jual jika
bukan tubuh sintal mereka. Semua hanya berkisar tentang besar kecilnya ukuran
dada, dan tak jauh-jauh dari urusan selangkangan. Tapi kepercayaan itu hilang
ketika bertemu dengan Bunda dan Rinai. Dan pasti tidak semua wanita di luar sana
seperti itu.
Aku mengenal Rinai sudah lama sekali.
saking lamanya, aku sudah tidak mengingat kapan pertama kali kita bertemu.
Mungkin kami masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Kami hidup dengan kondisi
yang sama. Di bawah kolong jembatan. Mengamen dan menjadi pemulung, sudah
menjadi keseharian kami waktu kecil.
Kami hidup dengan kondisi yang sama
dengan anak-anak lainnya. Hanya saja, kami punya perbedaan. Aku dan Rinai
sama-sama punya sebuah mimpi. Entah kapan tepatnya Rinai ingin menjadi seorang
wartawan. Keren saja katanya jika selalu berada di televisi setiap hari, lalu
bercakap-cakap seperti orang pintar.
Dan aku? Aku memilih untuk menjadi
polisi karena satu hal. Aku ingin menangkap Ayah dan Ibuku. Mereka penjahat.
Ibuku adalah seorang sundal. Bukan karena paksaan, tapi karena keinginan diri
sendiri. Kau mungkin tahu maksudku bukan? Tentu bisa saja, jika dia inginkan
pekerjaan yang halal, mungkin ibu bisa saja seperti Bunda Rinai. Mencari sesuap
nasi tanpa harus menjadi penjual diri. Bertahun-tahun menjalani profesi ini,
ibu berakhir menjadi mucikari yang paling dicari.
Aku adalah anak yang bisa di bilang
selamat dari semua bayi yang keluar dari rahim wanita itu. Lima bayi perempuan
yang keluar setelah aku, dijual oleh ayah kepada beberapa pasangan yang tidak
memiliki anak.
Uangnya? Dijadikan modal untuk
transaksi narkoba, dan ayah berhasil menjadi seorang bandar. Tentu aku
jijik jika harus hidup dengan uang yang
didapatkan dengan cara biadab seperti itu. Maka aku lebih memilih untuk bersama
Rinai mencari Uang dengan menjadi pemulung. Mencari peluang seluas mungkin
untuk mendapatkan beasiswa. Lalu mengantarkan kami seperti sekarang.
Setelah menjadi polisi, ayah
tertangkap dan dieksekusi. Ibu ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara
merangkap sebagai rehabilitas perempuan. Sampai di sana, aku benar-benar
bingung dengan arti keluarga sebenarnya. Sampai Rinai mengajakku untuk berdamai
dengan keadaan.
“Mungkin kita harus mengisi kekosongan
dengan hal lain, Ka. Bukan dengan kebencian.”
“Dengan apa?” tanyaku waktu itu.
Mungkin Rinai merasakan hal yang sama. Aku dan dia merasa lelah harus dibayangi
masa lalu.
“Entahlah, mungkin dengan perasaan lain.”
Aku terus memikirkan percakapan kami
waktu itu. peduli apa aku dengan perasaan lain. Tidak ada yang membahagiakan
buatku. Benarkah itu? tiba-tiba ada yang berdesir. Dengan gemetar ku buka jendela
yang persis berada di bawah meja kerjaku. Cahaya senja bewarna kuning
kemerahan, menyeruak dengan bebasnya. Perasaan lain? Tiba-tiba aku
langsung teringat Rinai.
***
“Deka, bisa ketemu?” tanya suara Rinai
dari bali telepon.
“Aku sedang bekerja, ada apa?” jawabku
sambil membolak-balik berkas-berkas penting yang harus ku teliti hari ini.
“Bunda masuk rumah sakit, dan aku akan
menikah malam ini.” kata Rinai lagi, kali ini dengan nada yang begitu cemas.
Untuk beberapa saat aku belum bisa mencerna apa yang barusan gadis ini katakan.
Tunggu, apa yang dia katakan? Bunda
masuk rumah sakit? Kenapa? ada apa? Tapi tadi Rinai juga mengatakan sesuatu
selain Bunda sakit? Rinai akan menikah malam ini? Ya Tuhan, aku benar-benar
bingung, yang mana yang aku kawatirkan saat ini.
Tiba-tiba ada perasaan aneh yang
melingkupi ruang hatiku. Aku memang sangat khawatir dengan keadaan Bunda Rinai,
tapi aku lebih kalang kabut ketika mendengar Rinai akan menikah malam ini.
Kenapa harus buru-buru? Yang mana yang harus aku cemaskan?
“Baiklah, aku akan ke sana.”
***
“Bagaimana keadaan Bunda?” Tanya
laki-laki itu dengan nada yang terdengar begitu cemas. Aku memandangi Deka.
Seharusnya laki-laki itu lebih mengkhawatirkan dirinya sendiri. Lihatlah kemeja
putih yang ia kenakan saat ini. Beberapa kancing bahkan ada yang belum
terpasang dengan baik. Jas hitam yang dikenakan sekenanya, dan dasi yang hanya
tergantung begitu saja di bahunya. Aku taksir, Deka pasti baru saja pulang dari
kantornya.
“Bunda sudah mulai membaik, tadi
sempat beberapa saat koma.” Kata adikku, Ratna. Dia baru saja datang bersama
suami dan kedua anaknya dari luar kota, tempat suaminya bekerja.
“Syukurlah,” Katanya dengan nafas
lega.
Aku menatap Bunda yang tengah tertidur
itu. Detingan mesinnya terdengar stabil. Bunda telah melewati masa-masa
kritisnya beberapa menit yang lalu
“Ratna, kapan pulang?” tanya Deka,
tersenyum ke arah adikku itu.
“Tadi siang Bang, aku langsung ke sini
ketika mendengar Bunda masuk ke rumah sakit. Dan lagi..” Ratna berhenti
melanjutkan kalimatnya. Ratna malah menyenggol lenganku dengan wajah iseng. “Mbak Rinai, nanti malam akan
menikah. Aku benar-benar tidak percaya, Mbak ternyata..”
“Dia benar-benar akan menikah?!”
Teriak Deka, dan langsung menatapku tidak percaya. Beberapa saat Deka mulai
terlihat tidak enak dengan apa yang ia katakan barusan. Ada apa? Kenapa dia
terlihat begitu kaget?
“Kamu kira aku bisa bercanda dengan
hal yang seperti ini, aku kan sudah bilang kalau..”
“Siapa orangnya, Desta?” Potong Deka
dengan nafas memburu mendekatiku. Aku semakin tidak mengerti dengan gelagat
Deka kali ini. Sejak kapan dia mengeluarkan ekspresi yang berlebihan seperti
ini? Tidak pernah-pernah. Ratna bahkan sampai mengerutkan kening ketika sedang
melihat kami.
“Bukan, tapi Panji. Sepupuku jauhku
itu. Tentu kamu kenal dia, bukan? Dia orang yang baik, dan pernah satu kelas
dengan kita ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Bahkan kau
bilang dia orang yang baik waktu itu.” Jawabku, berusaha tersenyum. Tapi entah
kenapa berat sekali untuk berbicara riang gembira seperti biasanya. senyumku
rasanya terlalu getir saat ini.
Deka langsung pergi begitu saja
meninggalkan kami. Aku tahu dia pasti akan bersikap seperti itu. tapi kenapa
ada perasaan lain yang rasanya tidak enak sekali. Tentang prinsip kami itukah?”
***
Sial, kenapa harus Panji. Kenapa harus
laki-laki itu. Aku bahkan sempat mengagumi orang itu. Tidak ada cacat satu pun.
Aku tidak bisa memberikan alasan apa pun untuk menghalangi rencana Rinai. Aku
tidak mungkin mengada-ada tentang kejelekkan yang Panji punya. Laki-laki itu
terlalu baik. Terlalu pantas. Serasi?
Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.
Tidak. Perasaan apa ini. Ini bukan lagi tentang prinsip kami. Aku tahu ini
bukan sekedar janji yang dulu kami buat. Ayolah, apa ini. seharusnya aku bisa
saja merelakan Rinai. Bukankah kami sudah berdamai dengan masa lalu.
Lantas perasaan apa ini, kenapa aku
begitu kekeuh. Dulu aku benci semua wanita kecuali Rinai. Dulu aku mengisi
kekosongan hati ini dengan kebencian. Dan ketika Rinai mengatakan untuk mengisi
kekosongan kami dengan perasaan lain, aku berhasil. Perasaan lain? Apakah?
Kenapa Rinai tidak memilihku saja? Tunggu, apa yang ku katakan. Dan tiba-tiba,
lagi-lagi aku melihat seluet bayangan Rinai.
***
Hanya beberapa tetangga yang kami
undang. Maklum. Akad nikahnya, berada di ruangan rumah sakit, tempat Bunda di
rawat, dan aku mengatakan pada Bunda dan Panji untuk tidak dirayakan saja.
Mereka setuju. Beberapa teman Bunda mengucapkan selamat kepadaku. Di belakang,
aku tahu bahwa mereka pasti bergumam. Akhirnya anak pertama Erna menikah
juga.
Bunda terlihat lumayan sehat. Sekarang
bisa duduk walaupun selang infus masih belum boleh dilepas dari pergelangan
tangannya. Panji? Kelihatannya begitu senang dan bisa menguasai situasi yang
menurutku lumayan memualkan ini. aku tidak terbiasa di tengah keramaian dan aku
yang menjadi pusat perhatiannya.
Menurut Bunda, Panji memang sudah lama
menyimpan perasaan dari dulu. Dan beberapa hari yang lalu laki-laki hitam manis
ini menanyakanku pada Bunda. Tapi kenapa
hanya aku yang merasa begitu aneh? Lalu dimana
Deka? Mana mungkin aku bisa memulai ini tanpa sahabatku
“Dimana Deka?” Tanya Panji kepadaku.
Panji menggeleng pelan. “Apa tidak apa-apa?” tanya Panji lagi. Kenapa?
“Aku kira kau dan Deka punya hubungan
istimewa, karena ku lihat dari dulu kau selalu bersama-sama. Aku dulu
sebenarnya tidak enak dengan Deka. Kau tahu, walaupun kelihatan tidak peduli,
sebenarnya dia sangat mencemaskan mu. Syukurlah kau tidak punya keterikatan
dengan dia.” Tutur Panji dengan nada sopan.
Aku masih termangu memikirkan
kata-kata Panji, sampai tiba-tiba bapak penghulu yang kami tunggu datang dan
terlihat akan memulai akad.
“Belum, masih ada yang belum datang,”
kataku dengan nada gusar. Bunda sepertinya terlihat tidak setuju dengan apa
yang aku katakan. Panji dan undangan lain terlihat tidak mengerti. Tapi aku tidak
peduli, aku tidak mau jika tidak ada Deka. Benar kata Panji, Bukankah kita
selalu bersama-sama?
“Permisi,” Aku langsung berlari
keluar. Mencari Deka sampai ketemu. Setidaknya aku harus punya alasan kenapa
dia tidak datang di hari pernikahanku. Terdengar dari belakang suara teriakan
Panji dan Bunda yang menahanku pergi.
Berkali-kali aku menelponnya, tapi
tidak direspon. Kemana sih orang ini. Tunggu, jangan-jangan dia ke tempat itu.
Di dekat rumah kami dulu, ada sebuah tempat yang sering menjadi tempat
pelarianku ketika ayah mulai ‘berulah’ dan tempat pelarian Deka pula ketika
ibunya kedatangan ‘pelanggan’. Ya, pasti di sana. Tidak salah lagi.
Syukurnya tempat itu tidak terlalu
jauh, dan benar. Aku melihat laki-laki jangkung itu tengah berdiri di bawah
jembatan itu. Dulunya tempat ini adalah rumah bagi pengemis, dan tunawisma,
selang beberapa kebijakan dari pemerintah mengenai pemukiman kumuh, tempat ini
telah di sulap menjadi kanal yang indah.
“Dasar tolol, apa yang kau lakukan di
sini?” teriakku dari kejauhan. Deka melihatku sebentar. Lalu kembali menatap
permukaan sungai yang tenang. Ku lihat laki-laki ini memegang sebuah botol minuman.
Dia minum? Aku langsung menghampiri laki-laki itu.
“Kau minum bir?” benar-benar sulit di
percaya. Tapi hebatnya Deka tidak hilang kesadaran. Gayanya masih tetap cuek
seperti biasa. Memegang lintingan rokok lalu melempar botol bir yang telah
kosong.
“Ada masalah apa? Kamu punya masalah
apa sampai minum?”
Deka menggeleng pelan.
“Jangan jadi tukang bohong, cerita.
Kamu sendiri yang bilang kalau saling mempercayakan masalah, aku tidak
mengenalmu baru kemaren sore. Aku bahkan sampai harus meninggalkan pernikahanku
hanya karena tingkah bodohmu itu, tau.” Kataku sambil memegangi lengannya.
“Baguslah.” Kata Deka dengan enteng
sambil menegak Bir miliknya lagi.
“Apanya yang bagus? Gara-gara kamu,
pernikahan ku terancam gagal. Dan kamu, punya masalah tapi gak bilang-bilang.”
Aku benar-benar geram. Santai sekali dia bilang seperti itu.
“Justru itu masalahnya,”
“Apa?” tanyaku.
“Pernikahanmu. Aku sengaja tidak
datang karena yakin kau pasti akan mencariku ke sini.” Ujarnya santai. Dan
kalimat terakhir, benar-benar membuatku geram.
“ Kenapa bisa sejahat itu sih.”
Teriakku dengan ketus.
Deka berbalik menatapku. “Kenapa harus
peduli, bukankah kau sendiri yang bilang ‘aku tidak ingin menikah? Kau sendiri
yang bilang benci laki-laki.” Kali ini Deka berbicara teramat tenang. Tapi
terdengar begitu menusuk. Pedas sekali kata-kata itu. itu tidak benar.
“Aku memang tidak ingin menikah, ini
hanya karena Bunda. Aku benci semua laki-laki.” Aku terdiam sebentar. “Kecuali
Deka.” Dan aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku katakan sebentar
ini.
“Tunggu, pasti ini soal prinsip dulu
kan, janji kita dulu.” Tudingku buru-buru menghapus ragu. Deka yang sempat
terlihat gamang dengan kalimatku barusan, kembali berwajah tidak peduli seperti
biasanya. Benar-benar menyebalkan.
“Ini bukan tentang prinsip.” Deka
seperti mengambil acang-acang untuk melanjutkan kalimatnya “Ini tentang
perasaan lain yang kau bilang waktu itu”.
“Perasaan
lain?” Dan tiba-tiba aku kembali mengingat percakapan kami waktu itu.
“Mungkin kita harus
mengisi kekosongan dengan hal lain, Ka. Bukan dengan kebencian.”
“Dengan apa?” tanyaku
waktu itu. Mungkin Rinai merasakan hal yang sama. Aku dan dia merasa lelah
harus dibayangi masa lalu.
“Entahlah, mungkin
dengan perasaan lain.”
“Sebenarnya aku sudah mengisinya
dengan perasaan lain, lama sekali.” Deka membuang puntung rokok itu ke sungai.
“Aku mengisinya dengan Cinta.” Deka menatapku lekat-lekat. Kalimat terakhir
membuatku tersadar untuk semua hal. Aku sama seperti Deka. Dan kami sama-sama
baru menyadarinya hari ini.
“Kenapa tidak bilang”, kataku memecah
keheningan.
“ Kau sendiri yang salah. Kenapa tidak
bertanya padaku? Kenapa tidak memintaku? kau hanya menanyakan pendapatku
tentang semua laki-laki itu. Tapi tidak menanyakan bagaimana..” Deka terdiam.
“Perasaanku.” Lanjutnya.
“Karena kita sudah berteman sejak
kecil, aku tidak yakin kamu punya perasaan yang sama. Tapi entah kapan
mulainya, aku selalu ingat kalau aku pernah bilang aku benci laki-laki kecuali
Deka, dan itu terus aku ingat. Bahkan kau mendengarnya barusan?”
“Aku pun sama, tapi baiklah. Aku akan
melepaskan persahabatan kita.” Katanya dengan nada cuek.
“Apa?” aku memandangnya dengan wajah
tidak percaya.
“ Kenapa kau begitu bodoh, Aku
melamarmu Rinai, apa kau belum mengerti juga?” katanya lagi dengan nada cuek.
Laki-laki itu berdiri sambil meninggalkanku begitu saja. Dia berusaha untuk
tidak peduli. Tapi aku tahu, laki-laki itu terlihat begitu senang.
Tetaplah seperti itu, berpura-pura
tidak peduli. Padahal selalu mencemaskanku. Dasar.
Comments
Post a Comment