Skip to main content


Cobalah Untuk Melihat Senja


 

Berkali-kali. Gadis berambut ikal itu tiada henti-hentinya menatap layar televisi dengan ekspresi wajah campur aduk.  Sepertinya dia lupa, kalau ada aku di sebelahnya. Sudahlah, abaikan saja. Cania memang selalu begitu kalau sudah melihat film-film bergenre romantisme. Aku yang punya deadline ini, malah dinomor dua kan, ketimbang film ‘mengharu biru’ miliknya itu.
            Entahlah bagaimana dunia ini menilai, tapi aku akan memberikan poin biasa saja jika disuruh menilai film yang begituan. Apa? Mana ada dalam kehidupan nyata hal yang seperti itu. Seseorang bertemu,saling jatuh cinta, sedikit bumbu-bumbu memuakkan, lalu mereka pacaran.
            Seharusnya seorang manejer harus memarahi aktornya, jika telat menyetorkan deadline yang sudah dijanjikan beberapa minggu yang lalu. Tapi lihatlah? pemandangan apa yang aku lihat sekarang ini? Gadis cabi itu hanya mengibas-ngibaskan tangan, menungguku bersabar karena filmnya baru akan menapak ke dalam konflik.
            “Ayolah caaan.. !” ku aduk sekali lagi sedotan yang berada di dalam gelas kosong itu. Tadinya itu penuh dengan Capucino, tapi setelah beberapa jam menunnggu, tanpa sadar aku sudah menghabiskannya segelas. Ah tidak, bukan segelas besar, tapi lima gelas besar.
            “Apaaa”, Jawab cania dengan nada malas. Dia mengangkat kacamatanya sedikit di atas hidung. Cania menatapku dengan penuh dendam. Aku tahu pasti kenapa dia memasang wajah menyeramkan seperti itu. Pasti Si tokoh utama sudah akan melakukan adegan mesum, ah maafkan. Maksudku adegan ciuman dengan lawan mainnya.
            Aku sudah hapal mati bagaimana raut wajah Cania yang berbeda-beda,  ketika aku menganggu beberapa adegan yang menurutnya menyenangkan. Cania akan merenggut kesal jika aku memanggilnya ketika ada adegan sepasang kekasih setengah bertengkar, di saat yang lain, Cania akan berwajah mengiba jika aku meminta duit komisi, dari tempat kami bekerja (kalau di sini aku sedikit bingung, wajah mengiba itu entah karena adegan film yang sedang ditayangkan, atau karena aku meminta duit komisi).
Dengan malas Cania berbalik ke arahku, oke, sepertinya aku sudah mulai bisa bekerja sekarang. Tanganku sigap menyiapkan beberapa notes yang akan dijadikan bahan persentasi kali ini. aku yakin efek dari beberpa hari tidak tidurku kali ini bisa memberikan kinerja yang bagus, intinya Cania puaslah dengan apa yang aku kerjakan. Lumayan juga ketika harus mendengar semua muntahan ‘kekecewaan’ dari Cania (harusnya aku yang kecewa, karena dia lebih memilih drama ketimbang teman baiknya).
Selagi aku mencari file yang akan aku tunjukkan pada Cania, tiba-tiba gadis itu menyeletuk. Entah sadar atau tidak, dia mengatakan kalimat yang cukup membuatku lumayan tercenung. “Za, hidup lu suram,”.
Yah, hanya beberapa kata ringan, disambung menjadi kalimat dan dibungkus dengan nada pengucapan yang datar. Sebenarnya aku tidak harus memikirkannya. Tapi aku cukup penasaran dengan kalimat itu.
“ Suram?” aku butuh penjelasan. Suram yang bagaimana menurut orang ini. Mungkin kalau hanya Rendi, seorang teman sesama penulis yang mengatakannya aku tidak akan khawatir, atau kalau saja pak parman, tentangga sebelah yang terkenal akan ‘keganasannya’ ketika ada yang mencuri mangga miliknya mengatakan hal yang sama, aku tidak akan tertarik untuk bertanya ulang apa maksudnya.
Aku tahu kalau Cania adalah menejer, tapi dia adalah sahabat kental, dan kami sudah saling mengenal lama sekali. bisa dibilang,  kita sudah saling mengetahui satu sama lain. Jelek baiknya cania, aku tahu betul apa itu. begitu pula sebaliknya.
“ Iya suram, kapan terakhir kali lu ngobrol sama gua selain seputaran pekerjaan? Lu gak pernah terlihat berbinar-binar seperti gua yang selalu bahagia pas ngelihat film drama, kita deket udah gak bisa dibilang sebentar doang za, dan selama kita kenal, gua gak pernah lihat lu merasa bahagia”. Aku sedikit terdiam, walaupun kata-kata terakhir Cania terdengar sedikit alay tapi sepertinya kali ini Cania benar-benar paling serius dibandingkan yang sudah-sudah (Kapan Cania terakhir pernah bercanda?).
“ Aku pernah kok ngobrol di luar pekerjaan, tentang beberapa buku yang sudah ku baca, atau tentang Tere Liye yang semakin baik saja, terakhir aku juga pernah bilang tentang liburan yang ke Jogja,” entah kenapa jawaban yang aku keluarkan sendiri terdengar begitu polos.
“ STOP..” Cania berhenti sebentar, mengambil nafas beberapa hela. Aku tahu gelagat ini, Cania pasti akan mengomel tanpa titik koma dalam satu kalimat. Ah sial, aku lupa membawa headseat. Ini musibah.
“ Elu bilang itu di luar pekerjaan? Ngebaca buku itu emang udah keharusan dari seorang penulis tauk! dan tunggu, Bukankah Tere Liye itu seorang penulis? Lu bilang ke Jogja waktu itu sebuah liburan??  Yang gua tahu, ke Jogja adalah sebuah seminar eksklusif untuk semua penulis se-Indonesia, dan lu adalah undangan. Disana lu Cuma disuruh diskusi, makan tidur, dan besok diskusi lagi soal sastra dan kepenulisan. Itu yang lu bilang libur? Aih, SURAM betul”. Cania benar-benar meledak. Bahkan beberapa pegawai dan pengunjung sempat menghentikan aktivitas ketika ada penekanan kata suram.
“ Tapi aku bahagia kok, buktinya aku bisa tersenyum sekarang,” jawabku berusaha meyakinkan Cania bahwa dia salah menilaiku sebagai orang yang suram. Bergegas ku naikkan bibir beberapa derajat ke atas, memperlihat beberapa geraham agar terlihat seperti tersenyum. Ah, indah sekali.. sepertinya senyum kali ini cukup memecah rekor sepanjang hidup sebagai senyum terlama dari milikku. Tapi entah kenapa Cania terlihat sangat kasihan padaku
“Ketahuan banget kalau senyum lu itu dipaksa,” kata Cania dengan senyum getir. Aku terdiam, masak?  “ kapan terakhir kali lu melakukan semua hal tanpa gua?” Cania kembali menanyakan pertanyaan baru, dan kali ini pertanyaan itu tidak bisa langsung ku jawab seperti biasanya.
“ Kapan lu gak pernah sendiri kalau gak bareng sama gua? Elu kenapa gak bisa berubah sih Za, waktu SMA nyampe kuliah lu masih aja lebih sering sendiri. Elu gak pernah rame sama yang lain dan lebih memilih untuk ngabaca buku dipojokkan sana. ahh.. gua tahu aca buku itu baik, tapi gak selamanya orang itu selalu bisa sendiri Za”. Dari sini Cania berhenti. Aku masih belum menangkap arah pembicaraan ini.
“Sendiri bagaimana? Kan ada kau Can, kita kan bisa terus bersama-sama seperti ini, lagi pula kalau saat ini kau sibuk aku bisa menunggumu sampai selesai. Aku tidak sendirian Can, kan aku sering menulis dan membaca beberapa karangan Cristina Agatha ketika kau punya kesibukkan,” Aku berusaha meyakinkan Cania, entah kenapa pembicaraan kali ini terlalu serius dan aku merasa tidak nyaman.
“Lusa depan gua pergi ke Jepang,  Zafira”. Cania terdiam lagi. Benar-benar bukan Cania yang biasanya. Mataku rasanya membulat lebih besar, rasanya senang sekali, Can, akhirnya kau bisa pergi ke Jepang juga. Tapi tunggu, kenapa rasanya jauh sekali. hening beberapa saat. Aku hanya bisa diam tanpa mengucapkan kata selamat. Apa yang aku lakukan. Kenapa aku diam saja.  “ Jangan khawatirkan soal pekerjan, kita bisa lewat via email, maaf gua baru bilang. Ternyata gua lulus Za, beasiswa penuh ke Jepang,” ujarnya memecah keheningan.
Aku tahu dia sudah menunggu lama hal ini. Cania punya tujuan lain selain keberangkatannya untuk menyusul pendidikan S2 nya di Jepang. Cania tentu rindu ibunya. Walaupun sekarang dia hanya bisa menemui makam. Jepang adalah kampung halaman Cania dari pihak ibu, ayah Cania asli Indonesia dan mendapatkan hak untuk mengasuh Cania. Ayah Cania membawanya ke Indonesia dan melarang gadis itu untuk bertemu dengan ibunya.
Bahkan ketika Ibu meninggal, Cania belum diberi kesempatan untuk ke sana. Tapi Cania yang cerdas, kali ini sepertinya bisa menjalankan rencananya. Ayahnya tentu tidak bisa menolak, kalau keberangkatannya ke Jepang kali ini adalah seputar beasiswa. Aku mengangguk pelan. Cania pantas mendapatkan hal itu. Tapi kenapa rasanya sedih sekali? perasaanku tidak enak.
“ Aku akan mengantarkan mu,” kataku sambil tersenyum senang. Cania membalasku dengan senyuman yang manis sekali. Tapi rasanya senyum kali ini terasa lebih aneh dari biasanya.
“ Jangan Kangen sama gue, lu harus punya cerita kalau udah gak ada gue, pokoknya jangan tentang pekerjaan lagi,”
***
Beberapa orang terlihat panik. Sebagian diantaranya memanggil-manggil nama sanak keluarga yang sepertinya belum mereka temukan, tidak sedikit pula yang menangis. Lalu  dimana aku sekarang? Dua jam yang lalu aku masih memeluk Cania ketika akan menaiki pesawat yang akan membawanya pada mimpinya.
Dimana aku sekarang? Kenapa aku harus berdiri di tempat yang tidak menyenangkan ini? aku tidak pernah suka rumah sakit, tentu kau tahu hal itu kan Can. Tapi kenapa kau membawa ku ke sini? Bukankah kau ingin ke Jepang?  Tapi kenapa kita harus ke rumah sakit.
Beberapa saat aku tergugu, dalam diam. Susah sekali untuk mengeluarkan semua hal yang menghimpit ini, bahkan ketika air mata harus jatu berbulir-bulir banyaknya. Maaf Can, aku harus melanggar janji untuk tidak menangis lagi. Aku terlalu naif waktu itu, berpikir tidak akan ada hal yang membuatku menangis kecuali karena kejadian itu. Aku terlalu yakin.
Can, kenapa dingin sekali di sini. Aku sudah lama tidak kenal dengan kata sendiri ketika sahabat selalu bersamaku. Bukankah kita sudah melupakan semua masa lalu yang menyebalkan. Lalu kenapa kau lebih memilih ibumu Can. Dasar bodoh.
Jangan Kangen sama gue, lu harus punya cerita kalau udah gak ada gue, pokoknya jangan tentang pekerjaan lagi.
***
3 bulan setelahnya
Lagi-lagi yang ku dapati hanya ruangan kosong. Apa pula yang aku harapkan dari apartemen milikku ini? berharap ada seseorang yang menyelinap masuk lalu memberikan kejutan ulang tahun?  Benar-benar sepi di sini. Ah, sebentar lagi waktunya makan malam, dan aku belum menyiapkan apa-apa.
Lupakan makan malam, aku baru melupakan sesuatu. Jam 22.00 aku harus sudah ada di Kafe Batavia sekarang. Aku punya janji dengan orang yang ingin menggarap novel denganku. Ah, Tidak. Sepertinya malam ini akan turun hujan. Beberapa kali kilat menyambar dan angin sepertinya juga terasa tidak baik untuk keluar sekarang ini.
Benar-benar waktu yang tidak baik untuk pergi. ah biasanya ada Cania yang mengingatkan untuk membawa mantel hijau tua kesukaannya. Meskipun aku tidak suka mengunakan itu, ia terus memaksaku untuk melakukannya. Aku tertawa kecil, berusaha mendamaikan hati. Sesekali ku pandangi foto ‘gila’ kami yang terpampang di dinding. Aku tidak suka mengenakan mantel, karena aku suka hujan Can. Tentu kau sudah tahu itu.
Aku kembali tersenyum ketika mengingat hanya Cania satu-satunya yang memperlakukan aku sebagai manusia. Aku tidak pernah mengenal keluarga. Satu-satunya yang aku ketahui adalah, aku terlahir dari seorang wanita yang bekerja di rumah bordilan, dan wanita itu telah berhasil menjual aku kepada laki-laki hidung belang. Sejak itu aku benci dengan laki-laki, mungkin karena itu pula aku tidak pernah ingin bertanya siapa ayahku. Peduli apa?  Mungkin saja, ayahku adalah salah satu ‘bajingan’ yang kebetulan singgah di rumah bordilan sialan itu. Pasti.
Semua orang yang mengetahui tentang hal itu, tidak pernah mau menerimaku. Tentu aku tidak bisa menyalahkan mereka. Aku tidak bisa menyalahkan mereka yang selalu menatapku jijik ketika berdekatan dengan mereka. Aku bahkan lebih jijik dengan diriku sendiri. Seperti daki.
Dari sana pula aku tidak pernah mengenal siapa pun. Aku tidak pernah tahu dengan pertemanan, persahabatan dan bentuk jalinan emosi jenis apa pun. Aku selalu menyelesaikan semua hal dengan menangis dan tentu. Sendirian.
Hingga aku bertemu dengan Cania. Gadis itu yang menyelamatkanku. Dan dia memberikan sebuah kepercayaan jika tidak ada manusia yang bersih. Bahkan malaikat dan seorang nabi pun pernah berbuat dosa. Tidak hanya aku yang berada dalam posisi terpuruk. Lihatlah Cania, bahkan dia tidak pernah bertemu lagi dengan ibunya. tapi gadis itu masih terus tertawa dengan tontonan drama murahan itu.

Jangan Kangen sama gue, lu harus punya cerita kalau udah gak ada gue, pokoknya jangan tentang pekerjaan lagi.

Bagaimana aku tidak bisa merasa kangen jika satu-satunya orang yang menghargaiku sebagai manausia pergi. Mustahil Can, aku tidak pernah bisa bicara tentang pekerjaan lagi. Bagimana bisa jika orang yang ingin aku ajak bercerita telah mati? Oh tidak, aku hampir melupakannya. Segera ku tutup pintu apartemen dan bergegas menuju parkiran motor.
Pukul 22.15 WIB
Aku telat beberapa menit, dan sialnya orang yang ingin aku temui tidak bisa bertolerir dengan keterlambatanku ini. Sial. Baru pertama kali nya aku harus terlambat jika berurusan dengan pekerjaan. Aku juga belum tahu bagaimana rupa relasiku kali ini. dia memang tidak memberikan kabar selanjutnya setelah memberikan janji untuk bertemu pukul sepuluh. Tapi dilihat dari ketidakadaan orangnya, berarti dia benar-benar memutuskan untuk pergi.
  Sebenarnya aku sudah harus membutuhkan manejer. Tidak hanya sekali, aku telah melakukan ini berkali-kali. Aku tidak pernah dekat dengan orang-orang di kantor dan sanggar.Aku tidak pernah dekat dengan siapa pun, tanpa Can, aku hanya bisa membuat kekacauan.
Aku tidak ingin ada seorang pun yang bertanya tentang masa lalu. Aku terlalu takut untuk berbicara, dan aku terlalu takut untuk menatap mata orang lain. Mereka pasti akan mencapkanku sebagai sampah, anjing lebih tepatnya. 
Mungkin setelah menghabiskan segelas capucino cream ini, aku harus kembali pulang. Setidaknya masih ada beberapa tulisan yang harus aku rampungkan sekarang ini.
“Boleh aku duduk di sini?”
Seorang laki-laki dengan telinga tertutup headseat sudah berdiri tegap didekatku. Entah sejak kapan. Penampilannya sporty sekali. Memakai topi adidas. Dia menyandang tas dibahunya. Laki-laki yang cukup tinggi dan berpostur tegap, dibandingkan laki-laki seusianya. Masih kelihatan muda, dan kalau ku taksir masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Aku tahu dari raut wajahnya yang terlihat seperti selalu ceria itu.
Wajah yang memang selalu tersenyum. Sepertinya aku mengenali raut wajah itu. Tapi milik siapa? Suaranya juga sepertinya tidak begitu asing. Tapi dimana? Apa kami pernah bertemu sebelumnya
Tapi sudahlah. Aku memutuskan untuk tidak menjawab. langsung melemparkan pandangan ke beberapa kursi kosong di sekitar kami.
“ Maaf, aku mengerti maksud kakak, tapi menurutku tempat ini yang terbaik. Dari sini, aku bisa melihat hujan dengan bebas,” katanya lagi, dan langsung duduk begitu saja tanpa mempertimbangkan aku akan menjawab iya, atau tidak. Tunggu, orang ini bilang hujan?
Aku tidak menjawab dan mulai merapikan kertas tempat ku menulis puisi yang berserakan kemanan-mana. Lalu tanpa berkata apa-apa, aku pergi meninggalkan orang yang benar-benar menganggu itu.
“Tunggu, aku bukannya mau ngusir Kakak, ” laki-laki itu mencoba untuk menahanku. Tapi itu tidak akan berhasil. Aku sudah terlanjur unmood. Ah, sebenarnya aku ingin berada di tempat itu lebih lama lagi. Tapi ya sudahlah. Ambil saja. aku tidak ingin ada orang lain di situ.
“Kak, kalau anda tidak suka, aku tidak akan memaksakan kemauanku untuk duduk di sini,”. Katanya lagi dengan wajah serius. Tapi aku sudah terlanjur berdiri, meninggalkan tempat itu.
***
Wanita yang aneh. Kenapa raut wajahnya begitu sedih? Wanita ini sepertinya tidak asing. Kapan kita bertemu terakhir kalinya? Menyebalkan sekali wanita ini, ketika aku berusaha mendekat untuk menghiburnya, dia malah meninggalkanku dengan wajah yang begitu angkuh.
Benar-benar berbeda sekali dengan kakak tiriku. Ah tidak, seharusnya aku bukan berada di sini sekarang. Ada hal yang lebih penting dan harus aku lakukan. Sial, kenapa sampai kelupaan.
Aku lupa untuk pulang ke rumah. Bukankah sekarang seratus hari kakak tiriku? Aku benar-benar telah melupakan waktu. Sebenarnya aku di sini juga merupakan  salah satu permintaan almarhum kakak. Aku diminta untuk melakukan kerjasama dengan seorang pengarang novel yang baru naik daun, tapi sudah memulai debutnya beberapa tahun yang lalu.
Siapa ya namanya? Aku bahkan lupa mengingat wajah dalam foto yang sempat ditunjukkan Kak Can kepadaku waktu itu. Dasar, sifat buruk ini belum berubah juga. pelupa benar aku ketika aku disuruh mengingat sesuatu. Benar kata Kak Can, (aku tersenyum memikirkan wajah kesalnya) aku masih belum bisa berguna. Masih pecundang.
Kak Can sih, kenapa terlalu cepat pergi. aku masih belum bisa berjalan sendiri Kak. Aku terkenal begini kan karena kau Kak. Walaupun beda ibu, Kak Can rasanya sudah benar-benar lahir dalam rahim yang sama. Kak Can yang membantuku berbicara dengan Bunda soal menjadi penulis itu.
Mungkin jika tidak ada ‘perang kecil’ itu, aku sudah menjadi seorang remaja yang hanya serius dalam akademi saja. Bunda memang sangat terobsesi menjadikanku seorang dokter. Padahal jiwaku bukanlah ingin menjadi seorang pria dengan hati mulia, pembawa steteskop yang selalu menolong orang itu.
 Aku hanya ingin keliling dunia dan menjadi seorang penulis yang membawa kebahagian kepada semua orang. Seperti Kak Can, wanita yang hebat, aku tahu betul bagaimana kehidupannya sebelum aku lahir. Aku selalu tahu tentang Kak Can, walaupun tidak langsung bertanya kepada wanita itu.Kak Can memang selalu marah jika aku menanyakannya. Entahlah kenapa dia tidak suka. Tapi sikap selalu berbaik hati memberi harapan kepada orang lain, tanpa memperdulikan dirinya sendiri adalah salah satu kebanggan aku menjadi adiknya.
Aku kembali tersenyum getir. Aku tahu kami berbeda keyakinan. Kak Can lebih memeluk agama yang sama dengan ibunya. Apa ya, kalau tidak salah aku benar dengar tentang orang-orang yang menuhankan matahari itu. oh iya, Shinto. Tapi aku tetap berusaha meyakinkan Bunda dan Ayah untuk tetap melakukan seratus hari ini.
Bicara tentang Kak Can, aku jadi ingat lagi dengan wanita yang harusnya aku temui malam ini. Sudahlah, mungkin orang ini mau berbaik hati menanggapi kerjasama kami. Padahal tadi aku sudah menelponnya. Mungkin lusa depan orang ini masih ada waktu.
Bergegas aku meniggalkan Kafe Batavia lalu setengah berlari ke tempat parkiran tepat di lantai bawah. Masih hujan. Tapi ini bagus. Aku benar-benar suka hujan. Entahlah, karena apa tiba-tiba aku menyukainya. Padahal dulu aku selalu mengutuk jika huja selalu datang, apa lagi ketika ada janji dengan seseorang.uh, sebalnya sampai aku mau melemparkan Patra (Patra itu kucing ras Persia, milik Bunda) ke dalam kolam.
Tapi ketika aku melihat untuk pertama kalinya Kak Can yang bermain air hujan dengan wajah yang begitu bahagia (padahal sudah sangat dewasa, tapi masi kekanak-kanakan), aku kembali meralat pendapatku tentang begitu menyebalkannya hujan itu.
“Bagus kalau lu mau keliling dunia.” Katanya dengan wajah sumringah. Kurang ajar betul. Aku baru saja dimarahi Bunda, dan sekarang dengan seenaknya dia memberikan wajah yang begitu bahagia kepadaku, terkesan mengejek.
“Kamu senang aku kena marah sama Bunda? Sengaja mengejekku kan?”
“Tidak, menurut gua itu ide yang keren.O iya, Gua Can. Panggil kakak ya” Ujarnya sambil menepuk kepalaku berkali-kali (sok akrab betul, tapi aku suka). Aku ganti menatapnya.
“Memang sulit meyakinkan orangtua, tapi mengertilah jika mereka ingin anaknya mendapatkan yang terbaik. Yaah walaupun menurut kita apa yang mereka putuskan benar-benar sangat menyebalkan. Tapi itu memang berdasarkan pada kebaikan. Percayalah, dulu gua juga ngerasain yang begitu. But, life it’s choice. “ wanita itu masih serius menatap hujan yang masih belum teduh itu. Aku demi mendengar suaranya yang tiba-tiba berubah menjadi lirih dan setengah dikuat-kuatkan itu, tiba-tiba merubah keinginan untuk meninggalkannya seorang diri di taman.
“Yakinkan saja Tante Rina terus, tapi lu tetap serius di akademik, lama-lama pasti Tante bakal mengerti.”  Kak Can (Entahlah, kenapa tiba-tiba aku mengakuinya sebagai kakak) terdiam sebentar “ Yakin deh, usaha gak bakal membohongi hasil. Intinya lu harus tetap bahagia.” Dengan penuh semangat, wanita itu mengarahkan jempolnya kepadaku.
Iya Kak Can, kau benar. Usaha memang tidak pernah membohongi hasil. Aku tersenyum lagi. Langkahku terhenti di depan pintu Kafe Batavia ini. entah kenapa ketika melihat hujan,tiba-tiba aku berubah menjadi seorang yang melankolis.
***
Trrriiiitt..triitt
Suara handphone bergetar berkali-kali. Baru jam 2 pagi, siapa yang menelponku sepagi ini? setengah sadar aku mengangkatnya tanpa sempat melihat siapa yang menelponku.
“Halo sayang . . “ Sapa seseorang dari balik telepon. Kalimat biasa dengan nada yang hambar. Biasa saja menurutku kalau yang mengatakan kalimat pendek itu bukan suara ini. Tiba-tiba jantungku berdetak tidak beraturan. Kenapa harus orang ini yang menghubungiku? Darimana dia bisa menghubungiku. Ini pasti salah.
“I..ini siapa?” aku berusaha menjawabnya dengan tenang, tapi sudah keduluan gugup di permulaan kata.
“Sudahlah, Kau jangan berpura-pura lupa. Ini Mama, sayang. Kau lupa? Bagaimana pekerjaanmu? Baikkah? Ah iya, Aku sedang kesusahan melayani ‘pelanggan’ bisa kah kau ke sini membantuku untuk ‘memasak’ beberapa laki-laki di sini. Bayarannya sama, kau..”
Aku langsung memutuskan panggilan telepon dan membanting benda itu sekenanya. Perasaan takut, jijik, malu menyatu jadi satu. Tanganku rasanya gemetar saat meraih gelas berisi air putih yang memang sengaja ku letakkan setiap harinya di atas meja, dekat tempat tidur. Kenapa telepon-telepon itu mulai sering berdatangan?
Ini tidak akan berhasil. Aku memutuskan untuk mandi. Biasanya cara ini ampuh ketika perasaan itu mencul lagi. Tuhan, kenapa dia orang ini datang lagi ketika aku benar-benar sendirian. Bahkan ketika Cania pergi. Seharusnya ketika aku berada dalam situasi ini, ada Can yang selalu memberikanku sebuah pelukan.  
***
“Iya Bunda, iya..aku tidak akan bolos les. Sungguh. Iya aku tahu, bukannya sekarang les Biologi kan? Ugh.. bukan? Ouh anatomi tubuh. Iya..iya itu yang ku maksud. Iya Bunda, aku mengerti. Sudah yah Bunda, aku sedang terburu-buru, dah bunda.”  Aku harus segera mematikan telepon sebelum Bunda menanyaiku ini itu, ah..ini benar-benar merepotkan.
Kenapa Bunda begitu cepat tahu dengan rencanaku. Les itu benar-benar memang sangat membosankan. Makanya aku memutuskan untuk pergi berjalan-jalan saja hari ini. Bukannya menyombong, sudah memahami semua pelajaran yang diajarkan guru les ku nanti, tanpa harus duduk manis di dalam kelas. Mungkin ‘kelebihan’ yang menurutku lumayan ‘menyengsarakan’ ini membuat Bunda semakin gigih mejadikanku seorang dokter.
Walaupun begitu tetap saja Bunda ingin aku tetap menghadiri kelas. Aku tahu Bunda memberiku les ini dan itu adalah salah satu bentuk usahanya untuk mempersiapkanku masuk universitas kedokteran, nantinya. Tapi ini berlebihan. Aku kan masih 17 tahun.
Lagi pula ada beberapa cerpen yang belum aku selesaikan. Tiba-tiba mataku berhenti pada seorang wanita yang sedang duduk di kursi taman. Hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Tunggu? Bukankah dia adalah orang yang ku temui di Kafe Batavia minggu lalu? Benar. Oh God, ternyata dunia memang sesempit yang kukira. Wajahnya masih sesedih itu. Apa sih yang orang ini pikirkan.
Aku berencana mendekatinya, tapi langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat ada dua orang aneh yang sepertinya tengah memperhatikan wanita itu. dua orang laki-laki yang sebenarnya biasa saja jika dilihat sekilas. Tapi mereka benar-benar tidak terlihat biasa karena selalu memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil menelpon. Seperti melapor.
Ah, mungkin hanya perasaanku saja. maka aku memutuskan untuk tetap mendekati wanita itu. Mungkin dia membutuhkan teman bicara. “Hai kakak.” Sapaku padanya setelah kami memang sudah begitu dekat. Aku memilih untuk berdiri. Ingat, terakhir kali apa yang terjadi ketika aku meminta izin untuk duduk di sampingnya? Wanita itu pergi. maka aku belajar dari pengalaman. Aku tidak ingin wanita berwajah sedih itu pergi.
“Apa aku mengenalmu?” Tanya wanita itu dengan ekspresi datar.
“Tidak, tapi kita pernah bertemu sebelumnya. Ingat Kafe Batavia?” kataku sambil tersenyum lalu menjulurkan tangan padanya. Hendak bersalam memperkenalkan diri. “Aku Raka,”. Lama tidak ditanggapi, aku menarik tanganku kembali.
“Maaf, aku tidak mengenalmu.” Wanita itu tidak peduli. Dan langsung meninggalkanku begitu saja. hei, ada apa dengannya? Aku kan tidak bermaksud merebut tempat ini. aku hanya ingin berkenalan. Itu saja. apa wajahku terlihat begitu mengerikan? Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Semua orang bahkan ingin meminta fotoku.
Tunggu, sepertinya ada yang aneh. Dimana dua orang laki-laki yang tadi ada di sudt taman?
***
Aku benar-benar kaget. Aku bertemu dengan laki-laki yang umurnya dua atau tiga tahun di bawah usiaku. Lagi? Ini bukan pertanda baik. Aku masih ingat pertemuan pertama kami di Kafe Batavia itu. Astaga, kenapa bisa bertemu lagi.Jangan-jangan laki-laki tadi adalah suruhan wanita jalang itu. ini tidak baik. ini buruk sekali
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang bergetar dari dalam ransel. Ah hanya telepon genggam milikku. Kali ini aku benar-benar hati-hati. Memastikan siapa yang menelponku. Rasanya takut sekali memastikan siapa itu. Setengah mennggigil, aku berusaha keras menatap nomor di layar.
Ah, ternyata bukan nomor aneh lagi.
“Iya, halo? Maaf, waktu itu aku tidak datang tepat waktu. Maafkan untuk pertemuan yang tidak menyenangkan itu. Baiklah, tentu..tentu. Kita masih bisa bekerja sama. Dimana? Um, di Taman kota, dekat Jembatan lampion merah? Hari ini jam 6?.  Baiklah.”
Aku menutup telepon. Yang menelponku kali ini adalah pengarang yang kemarin itu ingin melakukan kerjasama denganku. Tapi terkendala karena kita tidak jadi bertemu di Kafe Batavia karena aku yang telat. Jembatan merah? Bukankah di sana hanya ada beberapa tempat duduk kosong yang menghadap ke laut. Di sana tidak ada Kafe atau semacamnya. Hanya pedagang kaki lima. Benarkah dia menyuruhku kesana?
Jangan-jangan.. ah cepat-cepat aku menghapus pikiran buruk itu. ini bukan jebakan. Jelas-jelas nomor tadi aku mengenalnya, dan ini memang hasil kesepakatan dari Cania sebelumnya. Tapi selera orang ini memang aneh. Memilih Jembatan Lampion menjadi tempat diskusi? Baiklah, kali ini aku tidak akan telat. Pekerjaan baru. Setidaknya aku bisa mengalahkan rasa takut yang berlebihan ini.
***
Jembatan Lampion, Pukul 17.30 WIB
Masih ada setengah jam lagi. Aku masih punya banyak waktu sebelum matahari terbenam. Menunggu magenta benar-benar pergi. Tempat ini memang yang terbaik. aku memang sengaja memilih tempat ini untuk berdiskusi soal novel yang akan nantinya akan aku kerjakan dengan orang itu. hendphone sengaja ku matikan. Dengan ini Bunda tidak akan mengganggu. Bunda selalu mengerti jika sudah begitu. Raka anaknya sedang menulis.
***
Jembatan Lampion, Pukul 17.15 WIB
Aku sudah berada di tempat. Lima belas menit lebih cepat. Syukurlah. Banyak sekali orang-orang di sini. Aku baru menyadarinya karena memang jarang keluar untuk bermain sebelumnya. Dulu Cania sering memaksaku ke sini. Katanya tempat ini asik untuk dikunjungi. Tapi aku selalu menolak karena sibuk.
Cania memang tidak lebay seperti film tontonannya. Tempat ini benar-benar indah. Dari atas jembatan yang besar ini, dihiasi banyak lampion. Banyak pula orang yang berjualan. Sepertinya sedang ada festival. Aku mengerti sekarang kenapa nama jembatannya seperti ini.
Dari sini dapat pula melihat barisan pantai yang indah. Pantai, bahkan aku belum pernah ke pantai sebelumnya. Lihatlah guratan-guratan kuning tua di atas langi sana. aku tahu, orang sering memanggilnya magenta. Penulis lain bahkahn sering terinspirasi untuk membuat cerita ketika melihatnya. Aku? Aku baru kali ini melihat hal ini.
Ketika di siang hari, tempat ini begitu biasa. Ternyata ketika beranjak malam, Jembatan Lampion terlihat sangat berbeda. Aku memang belum bertemu langsung dengan orang yang aku temui beberapa menit ke depan. Tapi dari sini, aku tahu kalau dia adalah orang yang menyenangkan.
“Iya, halo. Aku sudah di sini. Kau dimana? Oh, aku harus jalan beberapa meter lagi? Di ujung jembatan? Baiklah.” Jawabku riang, dari kejauha aku bisa melihat seorang laki-laki yang sedikit tinggi dariku sedang membelakangi orang-orang. Dia bersandar pada pegangan jembatan yang kokoh, melihat ke arah pantai lepas. Aku hanya bisa melihat bagian punggungnya karena cahaya matahari begitu menyilaukan.
Aku hampir sampai, hanya lima langkah dari orang itu. Hingga sesuatu yang menakjubkan terjadi. Matahari terbenam. Ya Tuhan. Lihatlah, bola api yang tadinya terkesan begitu tegas, sekarang terlihat begitu lembut. Perlahan menyatu dengan lautan. Lautan memeluknnya, membiaskan warna-warna keemasan di permukaan laut. Magenta terlihat begitu sempurna ketika detik-detik matahari akan ‘pergi’ untuk sementara waktu. Beberapa burung camar terlihat terbang di kejauhan. Mengeluarkan suara seperti memanggil beberapa temannya untuk pulang.
Perasaan damai tiba-tiba menelusup kedalam tubuhku. Damai sekali.
“Indah bukan?” katanya sambil membalikkan badan, menatapku. Aku demi melihat wajahnya langsung menjatuhkan beberapa notes yang tadi tergenggam erat di tangan. Pun laki-laki itu yang tadinya tersenyum, seketika megeluarkan raut wajah tidak percaya. “Kakak?” teriaknya kaget dengan nada ala anak SMA. “Kau?” seketika angin laut menerpa wajah kami berdua.
***
Baiklah, hari-hari berlalu dan proyekku menggarap novel dengan seorang penulis kondang itu berjalan dengan lancar. Hanya saja kenapa harus dengan seorang anak SMA?
Setiap hari laki-laki ini selalu mengangguku dengan cara-cara yang menyebalkan. Ketika sedang melakukan pertemuan untuk membahas tulisan, dia dengan beraninya memintaku untuk membantunya membuatkan pekerjaan rumah. “Wah, kakak. Kau ternyata hebat juga.” Begitulah komentar yang sering aku dengar setiap kali aku menyelesaikan beberapa soal yang menurutku berpikir, Ya Tuhan..apakah dia memang masih siswa SMA?
Tidak hanya sampai di sana. Dia sering sekali menceritakan kakak perempuannya yang entah siapa itu. Cerewet benar ketika aku menyinggung kakaknya yang menurutku terkesan lebay itu, suka film drama mengharu biru. Tapi terkadang aku berpikir jika kakaknya terkesan seperti Cania.
Belakangan ini, aku sering bepergian keluar. Sesuatu yang sangat jarang aku lakukan dulunya. Raka, nama laki-laki itu, sering membawaku ke mana saja, dan yang pasti tempat tersebut adalah tempat yang paling sempurna menunggu matahari terbenam. Entah itu di pantai, atau pun taman kota. Sepertinya aku mulai punya hobi baru. Menunggu matahari terbenam sepertinya sudah menjadi hobiku.
“Kakak,?” Tiba-tiba Raka memanggilku yang saat itu sedang serius mengerjakan isi pertengahan dari novel, proyek milik kami. Kali ini Raka memilih tempat yang lebih efesien. Perpustakaan tepi pantai, dan kami sedamg duduk di dekat jendela yang menghadap ke arah lautan.
“Ya?” aku tidak menanggapinya. Membiarkan  suara ketikan laptopku tetap bekerja.
“Ternyata aku baru sadar, wajah sedih milikmu itu sudah hilang sekarang. Aku sepertinya sudah berhasil”. Katanya lagi dengan nada sopan, tapi terdengar begitu senang.
Aku langsung mengangkat kepalaku dan ganti menatapnya. Apa maksudnya? Raka hanya tersenyum tipis. Tidak lagi menatapku, tapi kembali serius dengan laptopnya. “Aku baru menyadari sesuatu, kalau ternyata masih ada yang lebih indah selain matahari terbenam”. Gumamnya sambil tersenyum manis di tengah keheningan kami. Aku berhenti sejenak, memperhatikannya yang terus mengetik. Mungkin kalimat tadi merupakan bagian dari isi novel miliknya.
“Kakak yakin, aku hanya mengantarmu sampai sini saja? bukannya rumah kakak harus masuk gang lagi dari sini. Mobilku masih bisa lewat kok.”
“Tidak usah, sudah jam 7, aku takut orangtuamu khawatir. Terima kasih untuk hari ini. besok dilanjutkan lagi.”
“Iya, hanya tinggal konflik yang rasanya belum sempat. Angle untuk beberapa bab rasanya belum terlalu kuat. Ah sudahlah, mungkin besok masih ada waktu sebelum deadline yang jatuh di hari kamis.” Ucap Raka, seperti berbicara tangan. Aku mengangguk sambil mengibaskan tangan.
Hari ini rasanya benar-benar melelahkan. Kami sepertinya memang harus bekerja mati-matian untuk menyelesaikan buku itu dalam minggu ini. Penerbit ternyata memajukan harinya.  Sebenarnya waktu yang diberikan lebih dari cukup, bahkan setelah waktu yang dimajukan itu. Tapi karena beberapa kendala sebelumnya, buku ini harus melakukan sistem semalam. Aku akan langsung tidur saja kalau begitu.
Tiba-tiba langkahku terhenti. Ada yang aneh dengan apartemenku. Kenapa lampunya menyala? Apa ada pencuri? Tanpa pikir panjang aku langsung membuka pintu dan masuk begitu saja. Tenggorokanku tercekat ketika melihat seseorang yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu.
“Bagaimana kabarmu Sayang? Lama kita tidak berjumpa.” Katanya menyapaku dengan nada yang terdengar begitu menjijikkan. Aku mendadak merasa mual.
“KAU.?” Aku berusaha untuk berbalik melarikan diri, ini tidak aman. Benar-benar tidak aman. Tapi belum sempat aku berlari ke pintu. Tiba-tiba BRUUK.. ada seseorang yang rasanya memukul kepalaku dengan keras. Perlahan, pandangan mataku berubah gelap.
***
Mataku rasanya berat sekali untuk dibuka. Apa yang terjadi? Kepalaku rasanya berat sekali. Setelah diantar Raka tiba-tiba ada wanita itu, Mama? Ah tidak, jangan-jangan aku ? entah dari mana tenagaku rasanya pulih kembali. Aku takut kalau wanita itu berhasil membawaku ke rumah bordilan itu.
“Raka?” desisku heran. Aku masih di apartemen, dan banyak orang di sini. Bahkan polisi. Apa  yang telah terjadi?
“Tenanglah kak, semuanya baik-baik saja. Polisi sudah mengurusnya.” Kata Raka menenangkanku.
“Apa..apa yang telah terjadi?” tanyaku, gelagapan benar.
“Aku sudah tahu semuanya.” Kata Raka pelan, menatapku dengan lembut. Tapi entah kenapa rasanya tatapan itu seperti menuntutku. Aku langsung terdiam. Dia tahu, dia tahu? Ini mimpi buruk. Tiba-tiba aku merasa jijik dengan diriku sendiri. Perasaan mual itu datang lagi. Lalu semua gelap.
***
To: Kak Zafa
Senin, 1 Januari. Pukul 20:00 WIB

Kak, kenapa susah sekali ditemui?


To: Kak Zafa
kamis, 3 Januari. Pukul 10:00 WIB

Kak Zafa, Pagi ini aku ke penerbitan, mereka bilang novel kita bagus. Minggu depan sudah berada di Gramedia. Senangnya ^-^. Ayo makan-makan lagi.

To: Kak Zafa
Jumat, 23 Maret. Pukul 10:00 WIB

Kak, bisa kita bertemu? Penting sekali

Berkali-kali aku membaca sms dari Raka. Masih banyak lagi dan aku tidak benar-benar membukanya semua. Hanya membacanya. Sudah dua bulan sejak kejadian itu aku berusaha untuk menghindar dari semua orang. Semua orang sudah tahu, mereka akan berpikir buruk tentangku. Mereka akan mencapku sebagai wanita sampah. Aku benar-benar takut.
Walaupun Mama sudah dijebloskan ke penjara bersama antek-anteknya dengan kurung waktu lumayan lama. Hal ini tidak langsung menentramkanku. Aku sudah terlanjur tercoreng, semua orang sudah tahu semuanya. Benarkah ini akhirnya? Ooh Can. Dimana kau? Aku kembali tergugu. Entah kenapa mataku begitu kuat menangi selama ini.
***
“Semuanya sudah siap Raka? Persiapan kuliah? Atm? Apa lagi yang kurang. Dasar anak ini. Ayah, lihatlah, lusa dia akan pergi, kenapa masih saja tetap bertingkah aneh seperti ini “.
Ayah hanya menghela nafas berat. Aku tahu itu, walaupun tidak bersitatap langsung dengan ayah. Aku tidak perduli dengan Bunda yang terus hilir mudik menyiapkan baran-barang. Lusa aku akan berangkat, tapi entah kenapa hatiku rasanya tidak ingin pergi. masih ada yang tertinggal rasanya. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Kak Can, andai kau masih di sini. Mungkin kau bisa membantuku dengan taktik drama mu itu.
***
To: Kak Zafa
Sabtu, 1 Juli. Pukul 00:00 WIB
Kak, aku tahu kau pasti membaca pesanku. Tidak apa-apa jika tidak dibalas. Oh iya, aku punya kabar baik, aku diterima di universitas kedokteran Jepang. Mungkin aku tidak akan pulang untuk beberapa lama. Atau mungkin tidak. Besok malam aku akan pergi ^-^

Ayolah, kali ini saja, tolong balas pesanku ini. Setidaknya aku ingin tahu kabar. Kabar saja. tidak lebih. Gumamku keras. Berkali-kali aku berdoa agar wanita ini mau membalasku. Lama sekali, hingga aku hampir tertidur. Entah kenapa aku seperti punya keyakinan jika kali ini pesanku akan di balas. Ternyata benar, tiba-tiba handphone ku bergetar beberapa kali.

To: Raka
Sabtu, 1 Juli. Pukul 00:20 WIB
Syukurlah, aku senang mendengarnya.

Mataku rasanya ingin keluar saat itu juga. Dia membalas pesanku. Tuhan, terimakasih. Berarti dia benar-benar membacanya.

To: Kak Zafa
Sabtu, 1 Juli. Pukul 00: WIB
Kak, Bisakah bertemu sekali saja. benar-benar sekali saja. aku janji tidak akan menganggumu setelah ini. aku tidak akan meminta dibuatkan tugas lagi. Aku hanya ingin mengucapkan kata perpisahan, untuk terakhir kalinya. Bolehkan? Besok aku tunggu di Pohon Flamboyan depan gang itu, jam 5 sore.

Malam ini pesanku tidak mendapatkan balasan. Tapi tidak apa-apa. Aku masih akan tetap menunggunya besok. Aku ingin mengatakan sesuatu sebelum pergi. walaupun hanya mengatakannya. Aku tidak peduli respon apa yang akan didapatkan nanti. Perasaan yang sudah menggumpal sejak malam gerimis pertama di Kafe Batavia.
***
Sudah jam setengah enam. Tapi aku belum melihat siapa-siapa. Mungkinkah dia tidak akan menemuiku sekali saja sebelum aku pergi?  jam terus bergerak, dan matahari sudah terbenam beberapa pulh menit yang lalu. Sekarang sudah pukul tujuh.
Aku tersenyum pahit. Mungkin memang tidak akan pernah terkatakan. Dengan setengah putus asa aku meninggalkan tempat itu. Aku tahu harus kemana sekarang. Berbicara sebentar dengan Kak Can, mungkin bisa sedikit menenangkan sebelum aku pergi.
“Kak Can, sepertinya aku akan jadi seorang dokter juga.” kataku pelan, mengusap batu nisan yang terhampar di depanku. “Coba tebak, aku diterima di Jepang, kampung halamanmu itu. Tempat kelahiran ibu yang kau cintai. Kau tentu menertawakanku dan bilang ‘Sudah gua bilang, elu pasti jadi seorang dokter’ begitukan kak?”
“Tapi aku tidak bisa pergi, aku benar-benar tidak bisa pergi. Kalau pun pergi, pasti ada yang tertinggal di sini. Bukankah itu tidak boleh? Kau bilang jangan meninggalkan sesuatu ketika bepergian. Kau yang bilang begitukan?” tiba-tiba bulir-bulir hangat mengalir nakal di sela mataku. Sial. Kenapa harus menangis di depan seorang wanita.
“Kak Can, maaf kalau aku menangis. Tapi aku benarkan. Kau pergi selamanya lantaran kau memang meninggalkan sesuatu di sini. Aku tahu kau selalu memikirkan temanmu yang belum berhasil aku temui itu, maafkan aku..” ah, air mata ini benar-benar mengganggu. “Tapi jika kau dulu selalu memikirkan aku adikmu ini, maka sudahlah, aku baik-baik saja sekarang.”
“Tapi aku benar-benar tidak bisa pergi, karena aku meninggalkan sesuatu Kak Can..aku meninggalkan Cinta pada seorang wanita. Aku benar-benar tidak peduli tentang masa lalunya sebagai pelacur, aku hanya tahu jika dia adalah wanita berwajah sedih yang ku temui di Kafe malam itu, aku hanya berniat menghapus wajah sedihnya.” Rasanya aku benar-benar meledak saat ini. Air mataku tupah semua, persetan dengan statusku sebagai laki-laki. Kau bilang menangislah ketika kau sedih, bukankah begitu Kak Can?
“Aku hanya tahu jika adalah wanita yang begitu manis ketika sedang tertawa, wanita yang sama-sama menyukai senja, kalau memang takdirku untuk tidak bersama-sama lagi, bisakah untuk sekali, saja bertemu dengannya. Sekali saja. Kak Can.. apa yang harus aku lakukan?” aku langsung jatuh ke tanah dan terduduk sambil menundukkan kepala.
Aku sudah mengatakannya. Setidaknya aku mengatakannya pada Kak Can. sudahlah jika wanita itu tidak mengetahui ini. Aku sungguh benar-benar sudah senang. Maka biarkan untuk sekali saja aku menangis sepuasnya di sini. Tidak peduli Kak Can, kau mau marah atau tidak padaku di alam sana. aku hanya ingin menangis,
“Terimakasih”. Tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Siapakah?
Ya Tuhan, suara itu? aku langsung membalikkan badan dan mencari sumber suara.
“Terimakasih sudah mengatakan hal itu.” katanya lagi
“Ka.. Zafa?” gumamku pelan, takut kalau ini hanya mimpi. Wanita itu sedang berdiri di sisi lain makam Kak Can sambil memegang sekeranjang bunga rampai. Menangis. Dan gerimis tiba-tiba datang lagi. Datang dengan suasananya yang menyenangkan.


***
Notes Zafa
Aku sudah bisa menceritakan sesuatu selain pekerjaan padamu sekarang Can. Terimakasih telah menjadi teman yang baik. aku punya penggantimu sekarang. Raka, adik kebanggaanmu itu.
Tenang saja, aku tidak akan kangen.
Ada satu hal yang ku pelajari dari Kau dan Raka. Ketika kau merasa sendiri, cobalah untuk melihat senja.

Comments

Popular posts from this blog

Last Wekkend (Bag.1)

Aku, Hanyo, dan Pohon Sakura Add caption Sudah lewat tengah malam, dan aku masih terjaga. Jenis manusia macam apalah aku ini. Bahkan sudah beberapa butir obat tidur yang ku telan, tapi belum ada tanda-tanda bahwa aku akan segera tidur. Insomnia yang rasanya semakin parah saja. Sejak kapan ya? Sebelum ini rasanya baik-baik saja. Bahkan sebelum Isa datang, mataku rasanya terlalu berat untuk dibuka. Apa yang aku pikirkan? “Kita jelas-jelas tidak cocok,” kalimat yang masih tergurat rapi di ingatan. Aku tersenyum gila, sembari menatap kaca. Tidak cocok katanya? “Lah, kenapa? kita sama-sama suka Harry Potter, melihat senja di pantai, melakukan sesuatu yang asik di luar, menulis puisi, dan ada beberapa buku yang...” “Apa kamu tidak mengerti juga? kita tidak akan pernah cocok untuk lebih, menjadi sahabat adalah pilihan terbaik,” lanjutnya lagi, meninggalkan beberapa guratan wajah tanpa ekspresi lal meninggalkanku begitu saja bersama bias-bias magenta yang hampir menghilang

Tips Khatam Al-Quran Saat Ramadhan Bagi Perempuan

Foto: Google Bulan suci Ramadhan menjadi momen terbaik bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia untuk meningkatkan intensitas dan kualitas ibadah. Setiap orang berlomba-lomba berbuat kebaikan demi mengejar ridho dan pahala yang dilipatgandakan oleh Allah SWT. Pelbagai jenis ibadah dilakukan, salah satunya membaca Al-Quran. Membaca Al-Quran   menjadi salah satu ibadah favorit yang kerap dilakukan saat bulan Ramadhan. Selain sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah, saat membaca satu huruf dalam Al-Quran maka akan dinilai dengan satu kebaikan pula dan dikalikan sepuluh. Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu bersabda: “Barang siapa yang membaca satu huruf di dalam kitab Allah (Al-Quran) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan dengan sepuluh (pahala). Aku tidak mengataman Alif Laam Mim adalah satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Mim satu huruf. (HR. Tirmidzi) Karena itulah, banyak yang berkeinginan untuk meng

Sampah

Foto : Aisyah Nursyamsi Sampah Apa yang pertama kali terbayang olehmu jika kata ‘sampah’ keluar begitu saja dari mulut orang-orang? Ejekan? Celaan? Atau memang kata itu keluar karena ingin menunjukkan keberadaan sampah itu sendiri? Aku sendiri tidak punya masalah pribadi dengan ‘si sampah’ ini. Kita belum pernah terlibat dalam permasalahan dan aku belum pernah punya dendam padanya. Cuma ketika pergantian tugas di bulan April ini, semua pandangan itu berubah. Sampah kini telah tanda kontrak untuk berurusan denganku. Aih, tidak. Sebenarnya bukan se’diplomatis itu. Peralihan tugas dari penjaga media sosial kantor menuju lapangan telah mempertemukanku dengan ‘buangan’ manusia ini. “Aisyah, bulan ini kita akan bikin video tentang sampah di Indonesia. Tidak perlu dibuat bercerita. Akan dibantu produser untuk bikinkan storylinenya. Sekarang kamu riset, dimana sampah paling parah berada dan ambil beberapa visual soal sampah.” Sekadar informasi usang yang mungkin s