Cobalah Untuk Melihat Senja
Berkali-kali. Gadis
berambut ikal itu tiada henti-hentinya menatap layar televisi dengan ekspresi
wajah campur aduk. Sepertinya dia lupa,
kalau ada aku di sebelahnya. Sudahlah, abaikan saja. Cania memang selalu begitu
kalau sudah melihat film-film bergenre romantisme. Aku yang punya deadline ini,
malah dinomor dua kan, ketimbang film ‘mengharu biru’ miliknya itu.
Entahlah
bagaimana dunia ini menilai, tapi aku akan memberikan poin biasa saja jika
disuruh menilai film yang begituan. Apa? Mana ada dalam kehidupan nyata hal
yang seperti itu. Seseorang bertemu,saling jatuh cinta, sedikit bumbu-bumbu
memuakkan, lalu mereka pacaran.
Seharusnya
seorang manejer harus memarahi aktornya, jika telat menyetorkan deadline yang
sudah dijanjikan beberapa minggu yang lalu. Tapi lihatlah? pemandangan apa yang
aku lihat sekarang ini? Gadis cabi itu hanya mengibas-ngibaskan tangan,
menungguku bersabar karena filmnya baru akan menapak ke dalam konflik.
“Ayolah
caaan.. !” ku aduk sekali lagi sedotan yang berada di dalam gelas kosong itu.
Tadinya itu penuh dengan Capucino, tapi setelah beberapa jam menunnggu, tanpa
sadar aku sudah menghabiskannya segelas. Ah tidak, bukan segelas besar, tapi
lima gelas besar.
“Apaaa”,
Jawab cania dengan nada malas. Dia mengangkat kacamatanya sedikit di atas
hidung. Cania menatapku dengan penuh dendam. Aku tahu pasti kenapa dia memasang
wajah menyeramkan seperti itu. Pasti Si tokoh utama sudah akan melakukan adegan
mesum, ah maafkan. Maksudku adegan ciuman dengan lawan mainnya.
Aku
sudah hapal mati bagaimana raut wajah Cania yang berbeda-beda, ketika aku menganggu beberapa adegan yang
menurutnya menyenangkan. Cania akan merenggut kesal jika aku memanggilnya
ketika ada adegan sepasang kekasih setengah bertengkar, di saat yang lain,
Cania akan berwajah mengiba jika aku meminta duit komisi, dari tempat kami
bekerja (kalau di sini aku sedikit bingung, wajah mengiba itu entah karena
adegan film yang sedang ditayangkan, atau karena aku meminta duit komisi).
Dengan malas Cania
berbalik ke arahku, oke, sepertinya aku sudah mulai bisa bekerja sekarang.
Tanganku sigap menyiapkan beberapa notes yang akan dijadikan bahan persentasi
kali ini. aku yakin efek dari beberpa hari tidak tidurku kali ini bisa
memberikan kinerja yang bagus, intinya Cania puaslah dengan apa yang aku
kerjakan. Lumayan juga ketika harus mendengar semua muntahan ‘kekecewaan’ dari
Cania (harusnya aku yang kecewa, karena dia lebih memilih drama ketimbang teman
baiknya).
Selagi aku mencari
file yang akan aku tunjukkan pada Cania, tiba-tiba gadis itu menyeletuk. Entah
sadar atau tidak, dia mengatakan kalimat yang cukup membuatku lumayan
tercenung. “Za, hidup lu suram,”.
Yah, hanya beberapa
kata ringan, disambung menjadi kalimat dan dibungkus dengan nada pengucapan
yang datar. Sebenarnya aku tidak harus memikirkannya. Tapi aku cukup penasaran
dengan kalimat itu.
“ Suram?” aku butuh
penjelasan. Suram yang bagaimana menurut orang ini. Mungkin kalau hanya Rendi,
seorang teman sesama penulis yang mengatakannya aku tidak akan khawatir, atau
kalau saja pak parman, tentangga sebelah yang terkenal akan ‘keganasannya’
ketika ada yang mencuri mangga miliknya mengatakan hal yang sama, aku tidak
akan tertarik untuk bertanya ulang apa maksudnya.
Aku tahu kalau Cania
adalah menejer, tapi dia adalah sahabat kental, dan kami sudah saling mengenal
lama sekali. bisa dibilang, kita sudah
saling mengetahui satu sama lain. Jelek baiknya cania, aku tahu betul apa itu.
begitu pula sebaliknya.
“ Iya suram, kapan
terakhir kali lu ngobrol sama gua selain seputaran pekerjaan? Lu gak pernah
terlihat berbinar-binar seperti gua yang selalu bahagia pas ngelihat film
drama, kita deket udah gak bisa dibilang sebentar doang za, dan selama kita
kenal, gua gak pernah lihat lu merasa bahagia”. Aku sedikit terdiam, walaupun
kata-kata terakhir Cania terdengar sedikit alay tapi sepertinya kali ini
Cania benar-benar paling serius dibandingkan yang sudah-sudah (Kapan Cania
terakhir pernah bercanda?).
“ Aku pernah kok
ngobrol di luar pekerjaan, tentang beberapa buku yang sudah ku baca, atau
tentang Tere Liye yang semakin baik saja, terakhir aku juga pernah bilang
tentang liburan yang ke Jogja,” entah kenapa jawaban yang aku keluarkan sendiri
terdengar begitu polos.
“ STOP..” Cania
berhenti sebentar, mengambil nafas beberapa hela. Aku tahu gelagat ini, Cania
pasti akan mengomel tanpa titik koma dalam satu kalimat. Ah sial, aku lupa
membawa headseat. Ini musibah.
“ Elu bilang itu di
luar pekerjaan? Ngebaca buku itu emang udah keharusan dari seorang penulis
tauk! dan tunggu, Bukankah Tere Liye itu seorang penulis? Lu bilang ke Jogja
waktu itu sebuah liburan?? Yang gua
tahu, ke Jogja adalah sebuah seminar eksklusif untuk semua penulis
se-Indonesia, dan lu adalah undangan. Disana lu Cuma disuruh diskusi, makan
tidur, dan besok diskusi lagi soal sastra dan kepenulisan. Itu yang lu bilang
libur? Aih, SURAM betul”. Cania benar-benar meledak. Bahkan beberapa pegawai
dan pengunjung sempat menghentikan aktivitas ketika ada penekanan kata suram.
“ Tapi aku bahagia
kok, buktinya aku bisa tersenyum sekarang,” jawabku berusaha meyakinkan Cania
bahwa dia salah menilaiku sebagai orang yang suram. Bergegas ku naikkan bibir
beberapa derajat ke atas, memperlihat beberapa geraham agar terlihat seperti
tersenyum. Ah, indah sekali.. sepertinya senyum kali ini cukup memecah rekor
sepanjang hidup sebagai senyum terlama dari milikku. Tapi entah kenapa Cania
terlihat sangat kasihan padaku
“Ketahuan banget
kalau senyum lu itu dipaksa,” kata Cania dengan senyum getir. Aku terdiam,
masak? “ kapan terakhir kali lu
melakukan semua hal tanpa gua?” Cania kembali menanyakan pertanyaan baru, dan
kali ini pertanyaan itu tidak bisa langsung ku jawab seperti biasanya.
“ Kapan lu gak
pernah sendiri kalau gak bareng sama gua? Elu kenapa gak bisa berubah sih Za,
waktu SMA nyampe kuliah lu masih aja lebih sering sendiri. Elu gak
pernah rame sama yang lain dan lebih memilih untuk ngabaca buku dipojokkan
sana. ahh.. gua tahu aca buku itu baik, tapi gak selamanya orang itu selalu
bisa sendiri Za”. Dari sini Cania berhenti. Aku masih belum menangkap arah
pembicaraan ini.
“Sendiri bagaimana?
Kan ada kau Can, kita kan bisa terus bersama-sama seperti ini, lagi pula kalau
saat ini kau sibuk aku bisa menunggumu sampai selesai. Aku tidak sendirian Can,
kan aku sering menulis dan membaca beberapa karangan Cristina Agatha ketika kau
punya kesibukkan,” Aku berusaha meyakinkan Cania, entah kenapa pembicaraan kali
ini terlalu serius dan aku merasa tidak nyaman.
“Lusa depan gua
pergi ke Jepang, Zafira”. Cania terdiam
lagi. Benar-benar bukan Cania yang biasanya. Mataku rasanya membulat lebih
besar, rasanya senang sekali, Can, akhirnya kau bisa pergi ke Jepang juga. Tapi
tunggu, kenapa rasanya jauh sekali. hening beberapa saat. Aku hanya bisa diam
tanpa mengucapkan kata selamat. Apa yang aku lakukan. Kenapa aku diam saja. “ Jangan khawatirkan soal pekerjan, kita bisa
lewat via email, maaf gua baru bilang. Ternyata gua lulus Za, beasiswa penuh ke
Jepang,” ujarnya memecah keheningan.
Aku tahu dia sudah
menunggu lama hal ini. Cania punya tujuan lain selain keberangkatannya untuk
menyusul pendidikan S2 nya di Jepang. Cania tentu rindu ibunya. Walaupun
sekarang dia hanya bisa menemui makam. Jepang adalah kampung halaman Cania dari
pihak ibu, ayah Cania asli Indonesia dan mendapatkan hak untuk mengasuh Cania.
Ayah Cania membawanya ke Indonesia dan melarang gadis itu untuk bertemu dengan
ibunya.
Bahkan ketika Ibu
meninggal, Cania belum diberi kesempatan untuk ke sana. Tapi Cania yang cerdas,
kali ini sepertinya bisa menjalankan rencananya. Ayahnya tentu tidak bisa
menolak, kalau keberangkatannya ke Jepang kali ini adalah seputar beasiswa. Aku
mengangguk pelan. Cania pantas mendapatkan hal itu. Tapi kenapa rasanya sedih
sekali? perasaanku tidak enak.
“ Aku akan
mengantarkan mu,” kataku sambil tersenyum senang. Cania membalasku dengan
senyuman yang manis sekali. Tapi rasanya senyum kali ini terasa lebih aneh dari
biasanya.
“ Jangan Kangen sama
gue, lu harus punya cerita kalau udah gak ada gue, pokoknya jangan tentang
pekerjaan lagi,”
***
Beberapa orang
terlihat panik. Sebagian diantaranya memanggil-manggil nama sanak keluarga yang
sepertinya belum mereka temukan, tidak sedikit pula yang menangis. Lalu dimana aku sekarang? Dua jam yang lalu aku
masih memeluk Cania ketika akan menaiki pesawat yang akan membawanya pada
mimpinya.
Dimana aku sekarang?
Kenapa aku harus berdiri di tempat yang tidak menyenangkan ini? aku tidak
pernah suka rumah sakit, tentu kau tahu hal itu kan Can. Tapi kenapa kau
membawa ku ke sini? Bukankah kau ingin ke Jepang? Tapi kenapa kita harus ke rumah sakit.
Beberapa saat aku
tergugu, dalam diam. Susah sekali untuk mengeluarkan semua hal yang menghimpit
ini, bahkan ketika air mata harus jatu berbulir-bulir banyaknya. Maaf Can, aku
harus melanggar janji untuk tidak menangis lagi. Aku terlalu naif waktu itu,
berpikir tidak akan ada hal yang membuatku menangis kecuali karena kejadian
itu. Aku terlalu yakin.
Can, kenapa dingin
sekali di sini. Aku sudah lama tidak kenal dengan kata sendiri ketika sahabat
selalu bersamaku. Bukankah kita sudah melupakan semua masa lalu yang
menyebalkan. Lalu kenapa kau lebih memilih ibumu Can. Dasar bodoh.
Jangan Kangen sama
gue, lu harus punya cerita kalau udah gak ada gue, pokoknya jangan tentang
pekerjaan lagi.
***
3 bulan setelahnya
Lagi-lagi yang ku
dapati hanya ruangan kosong. Apa pula yang aku harapkan dari apartemen milikku
ini? berharap ada seseorang yang menyelinap masuk lalu memberikan kejutan ulang
tahun? Benar-benar sepi di sini. Ah, sebentar
lagi waktunya makan malam, dan aku belum menyiapkan apa-apa.
Lupakan makan malam,
aku baru melupakan sesuatu. Jam 22.00 aku harus sudah ada di Kafe Batavia
sekarang. Aku punya janji dengan orang yang ingin menggarap novel denganku. Ah,
Tidak. Sepertinya malam ini akan turun hujan. Beberapa kali kilat menyambar dan
angin sepertinya juga terasa tidak baik untuk keluar sekarang ini.
Benar-benar waktu
yang tidak baik untuk pergi. ah biasanya ada Cania yang mengingatkan untuk
membawa mantel hijau tua kesukaannya. Meskipun aku tidak suka mengunakan itu,
ia terus memaksaku untuk melakukannya. Aku tertawa kecil, berusaha mendamaikan
hati. Sesekali ku pandangi foto ‘gila’ kami yang terpampang di dinding. Aku
tidak suka mengenakan mantel, karena aku suka hujan Can. Tentu kau sudah tahu
itu.
Aku kembali
tersenyum ketika mengingat hanya Cania satu-satunya yang memperlakukan aku
sebagai manusia. Aku tidak pernah mengenal keluarga. Satu-satunya yang aku
ketahui adalah, aku terlahir dari seorang wanita yang bekerja di rumah
bordilan, dan wanita itu telah berhasil menjual aku kepada laki-laki hidung
belang. Sejak itu aku benci dengan laki-laki, mungkin karena itu pula aku tidak
pernah ingin bertanya siapa ayahku. Peduli apa? Mungkin saja, ayahku adalah salah satu
‘bajingan’ yang kebetulan singgah di rumah bordilan sialan itu. Pasti.
Semua orang yang
mengetahui tentang hal itu, tidak pernah mau menerimaku. Tentu aku tidak bisa
menyalahkan mereka. Aku tidak bisa menyalahkan mereka yang selalu menatapku
jijik ketika berdekatan dengan mereka. Aku bahkan lebih jijik dengan diriku
sendiri. Seperti daki.
Dari sana pula aku
tidak pernah mengenal siapa pun. Aku tidak pernah tahu dengan pertemanan,
persahabatan dan bentuk jalinan emosi jenis apa pun. Aku selalu menyelesaikan
semua hal dengan menangis dan tentu. Sendirian.
Hingga aku bertemu
dengan Cania. Gadis itu yang menyelamatkanku. Dan dia memberikan sebuah
kepercayaan jika tidak ada manusia yang bersih. Bahkan malaikat dan seorang
nabi pun pernah berbuat dosa. Tidak hanya aku yang berada dalam posisi
terpuruk. Lihatlah Cania, bahkan dia tidak pernah bertemu lagi dengan ibunya.
tapi gadis itu masih terus tertawa dengan tontonan drama murahan itu.
Jangan Kangen sama
gue, lu harus punya cerita kalau udah gak ada gue, pokoknya jangan tentang
pekerjaan lagi.
Bagaimana aku tidak
bisa merasa kangen jika satu-satunya orang yang menghargaiku sebagai
manausia pergi. Mustahil Can, aku tidak pernah bisa bicara tentang pekerjaan
lagi. Bagimana bisa jika orang yang ingin aku ajak bercerita telah mati? Oh
tidak, aku hampir melupakannya. Segera ku tutup pintu apartemen dan bergegas
menuju parkiran motor.
Pukul 22.15 WIB
Aku telat beberapa
menit, dan sialnya orang yang ingin aku temui tidak bisa bertolerir dengan
keterlambatanku ini. Sial. Baru pertama kali nya aku harus terlambat jika
berurusan dengan pekerjaan. Aku juga belum tahu bagaimana rupa relasiku kali
ini. dia memang tidak memberikan kabar selanjutnya setelah memberikan janji
untuk bertemu pukul sepuluh. Tapi dilihat dari ketidakadaan orangnya, berarti
dia benar-benar memutuskan untuk pergi.
Sebenarnya aku sudah harus membutuhkan
manejer. Tidak hanya sekali, aku telah melakukan ini berkali-kali. Aku tidak
pernah dekat dengan orang-orang di kantor dan sanggar.Aku tidak pernah dekat
dengan siapa pun, tanpa Can, aku hanya bisa membuat kekacauan.
Aku tidak ingin ada
seorang pun yang bertanya tentang masa lalu. Aku terlalu takut untuk berbicara,
dan aku terlalu takut untuk menatap mata orang lain. Mereka pasti akan
mencapkanku sebagai sampah, anjing lebih tepatnya.
Mungkin setelah
menghabiskan segelas capucino cream ini, aku harus kembali pulang. Setidaknya
masih ada beberapa tulisan yang harus aku rampungkan sekarang ini.
“Boleh aku duduk di
sini?”
Seorang laki-laki
dengan telinga tertutup headseat sudah berdiri tegap didekatku. Entah sejak
kapan. Penampilannya sporty sekali. Memakai topi adidas. Dia
menyandang tas dibahunya. Laki-laki yang cukup tinggi dan berpostur tegap,
dibandingkan laki-laki seusianya. Masih kelihatan muda, dan kalau ku taksir
masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Aku tahu dari raut wajahnya yang
terlihat seperti selalu ceria itu.
Wajah yang memang
selalu tersenyum. Sepertinya aku mengenali raut wajah itu. Tapi milik siapa?
Suaranya juga sepertinya tidak begitu asing. Tapi dimana? Apa kami
pernah bertemu sebelumnya
Tapi sudahlah. Aku
memutuskan untuk tidak menjawab. langsung melemparkan pandangan ke beberapa
kursi kosong di sekitar kami.
“ Maaf, aku mengerti
maksud kakak, tapi menurutku tempat ini yang terbaik. Dari sini, aku bisa
melihat hujan dengan bebas,” katanya lagi, dan langsung duduk begitu saja tanpa
mempertimbangkan aku akan menjawab iya, atau tidak. Tunggu, orang ini bilang
hujan?
Aku tidak menjawab
dan mulai merapikan kertas tempat ku menulis puisi yang berserakan
kemanan-mana. Lalu tanpa berkata apa-apa, aku pergi meninggalkan orang yang
benar-benar menganggu itu.
“Tunggu, aku
bukannya mau ngusir Kakak, ” laki-laki itu mencoba untuk menahanku. Tapi itu
tidak akan berhasil. Aku sudah terlanjur unmood. Ah, sebenarnya aku
ingin berada di tempat itu lebih lama lagi. Tapi ya sudahlah. Ambil saja. aku
tidak ingin ada orang lain di situ.
“Kak, kalau anda
tidak suka, aku tidak akan memaksakan kemauanku untuk duduk di sini,”. Katanya
lagi dengan wajah serius. Tapi aku sudah terlanjur berdiri, meninggalkan tempat
itu.
***
Wanita yang aneh. Kenapa raut wajahnya begitu
sedih? Wanita ini sepertinya tidak asing. Kapan kita bertemu terakhir kalinya?
Menyebalkan sekali wanita ini, ketika aku berusaha mendekat untuk menghiburnya,
dia malah meninggalkanku dengan wajah yang begitu angkuh.
Benar-benar berbeda sekali dengan kakak
tiriku. Ah tidak, seharusnya aku bukan berada di sini sekarang. Ada hal yang
lebih penting dan harus aku lakukan. Sial, kenapa sampai kelupaan.
Aku lupa untuk pulang ke rumah. Bukankah sekarang
seratus hari kakak tiriku? Aku benar-benar telah melupakan waktu. Sebenarnya
aku di sini juga merupakan salah satu
permintaan almarhum kakak. Aku diminta untuk melakukan kerjasama dengan seorang
pengarang novel yang baru naik daun, tapi sudah memulai debutnya beberapa tahun
yang lalu.
Siapa ya namanya? Aku bahkan lupa mengingat
wajah dalam foto yang sempat ditunjukkan Kak Can kepadaku waktu itu. Dasar,
sifat buruk ini belum berubah juga. pelupa benar aku ketika aku disuruh
mengingat sesuatu. Benar kata Kak Can, (aku tersenyum memikirkan wajah
kesalnya) aku masih belum bisa berguna. Masih pecundang.
Kak Can sih, kenapa terlalu cepat pergi. aku
masih belum bisa berjalan sendiri Kak. Aku terkenal begini kan karena kau Kak.
Walaupun beda ibu, Kak Can rasanya sudah benar-benar lahir dalam rahim yang
sama. Kak Can yang membantuku berbicara dengan Bunda soal menjadi penulis itu.
Mungkin jika tidak ada ‘perang kecil’ itu, aku
sudah menjadi seorang remaja yang hanya serius dalam akademi saja. Bunda memang
sangat terobsesi menjadikanku seorang dokter. Padahal jiwaku bukanlah ingin
menjadi seorang pria dengan hati mulia, pembawa steteskop yang selalu menolong
orang itu.
Aku
hanya ingin keliling dunia dan menjadi seorang penulis yang membawa kebahagian
kepada semua orang. Seperti Kak Can, wanita yang hebat, aku tahu betul
bagaimana kehidupannya sebelum aku lahir. Aku selalu tahu tentang Kak Can,
walaupun tidak langsung bertanya kepada wanita itu.Kak Can memang selalu marah
jika aku menanyakannya. Entahlah kenapa dia tidak suka. Tapi sikap selalu
berbaik hati memberi harapan kepada orang lain, tanpa memperdulikan dirinya
sendiri adalah salah satu kebanggan aku menjadi adiknya.
Aku kembali tersenyum getir. Aku tahu kami
berbeda keyakinan. Kak Can lebih memeluk agama yang sama dengan ibunya. Apa ya,
kalau tidak salah aku benar dengar tentang orang-orang yang menuhankan matahari
itu. oh iya, Shinto. Tapi aku tetap berusaha meyakinkan Bunda dan Ayah untuk tetap
melakukan seratus hari ini.
Bicara tentang Kak Can, aku jadi ingat lagi
dengan wanita yang harusnya aku temui malam ini. Sudahlah, mungkin orang ini
mau berbaik hati menanggapi kerjasama kami. Padahal tadi aku sudah menelponnya.
Mungkin lusa depan orang ini masih ada waktu.
Bergegas aku meniggalkan Kafe Batavia lalu setengah
berlari ke tempat parkiran tepat di lantai bawah. Masih hujan. Tapi ini bagus.
Aku benar-benar suka hujan. Entahlah, karena apa tiba-tiba aku menyukainya.
Padahal dulu aku selalu mengutuk jika huja selalu datang, apa lagi ketika ada
janji dengan seseorang.uh, sebalnya sampai aku mau melemparkan Patra (Patra itu
kucing ras Persia, milik Bunda) ke dalam kolam.
Tapi ketika aku melihat untuk pertama kalinya
Kak Can yang bermain air hujan dengan wajah yang begitu bahagia (padahal sudah
sangat dewasa, tapi masi kekanak-kanakan), aku kembali meralat pendapatku
tentang begitu menyebalkannya hujan itu.
“Bagus kalau lu mau keliling dunia.” Katanya
dengan wajah sumringah. Kurang ajar betul. Aku baru saja dimarahi Bunda, dan
sekarang dengan seenaknya dia memberikan wajah yang begitu bahagia kepadaku,
terkesan mengejek.
“Kamu senang aku kena marah sama Bunda?
Sengaja mengejekku kan?”
“Tidak, menurut gua itu ide yang keren.O iya,
Gua Can. Panggil kakak ya” Ujarnya sambil menepuk kepalaku berkali-kali (sok
akrab betul, tapi aku suka). Aku ganti menatapnya.
“Memang sulit meyakinkan orangtua, tapi
mengertilah jika mereka ingin anaknya mendapatkan yang terbaik. Yaah walaupun
menurut kita apa yang mereka putuskan benar-benar sangat menyebalkan. Tapi itu
memang berdasarkan pada kebaikan. Percayalah, dulu gua juga ngerasain yang
begitu. But, life it’s choice. “ wanita itu masih serius menatap hujan yang
masih belum teduh itu. Aku demi mendengar suaranya yang tiba-tiba berubah
menjadi lirih dan setengah dikuat-kuatkan itu, tiba-tiba merubah keinginan
untuk meninggalkannya seorang diri di taman.
“Yakinkan saja Tante Rina terus, tapi lu tetap
serius di akademik, lama-lama pasti Tante bakal mengerti.” Kak Can (Entahlah, kenapa tiba-tiba aku
mengakuinya sebagai kakak) terdiam sebentar “ Yakin deh, usaha gak bakal
membohongi hasil. Intinya lu harus tetap bahagia.” Dengan penuh semangat,
wanita itu mengarahkan jempolnya kepadaku.
Iya Kak Can, kau benar. Usaha memang tidak
pernah membohongi hasil. Aku tersenyum lagi. Langkahku terhenti di depan pintu
Kafe Batavia ini. entah kenapa ketika melihat hujan,tiba-tiba aku berubah
menjadi seorang yang melankolis.
***
Trrriiiitt..triitt
Suara handphone bergetar berkali-kali. Baru
jam 2 pagi, siapa yang menelponku sepagi ini? setengah sadar aku mengangkatnya
tanpa sempat melihat siapa yang menelponku.
“Halo sayang . . “ Sapa seseorang dari balik
telepon. Kalimat biasa dengan nada yang hambar. Biasa saja menurutku kalau yang
mengatakan kalimat pendek itu bukan suara ini. Tiba-tiba jantungku berdetak
tidak beraturan. Kenapa harus orang ini yang menghubungiku? Darimana dia bisa
menghubungiku. Ini pasti salah.
“I..ini siapa?” aku berusaha menjawabnya
dengan tenang, tapi sudah keduluan gugup di permulaan kata.
“Sudahlah, Kau jangan berpura-pura lupa. Ini
Mama, sayang. Kau lupa? Bagaimana pekerjaanmu? Baikkah? Ah iya, Aku sedang
kesusahan melayani ‘pelanggan’ bisa kah kau ke sini membantuku untuk ‘memasak’
beberapa laki-laki di sini. Bayarannya sama, kau..”
Aku langsung memutuskan panggilan telepon dan
membanting benda itu sekenanya. Perasaan takut, jijik, malu menyatu jadi satu.
Tanganku rasanya gemetar saat meraih gelas berisi air putih yang memang sengaja
ku letakkan setiap harinya di atas meja, dekat tempat tidur. Kenapa
telepon-telepon itu mulai sering berdatangan?
Ini tidak akan berhasil. Aku memutuskan untuk
mandi. Biasanya cara ini ampuh ketika perasaan itu mencul lagi. Tuhan, kenapa
dia orang ini datang lagi ketika aku benar-benar sendirian. Bahkan ketika Cania
pergi. Seharusnya ketika aku berada dalam situasi ini, ada Can yang selalu
memberikanku sebuah pelukan.
***
“Iya Bunda, iya..aku tidak akan bolos les.
Sungguh. Iya aku tahu, bukannya sekarang les Biologi kan? Ugh.. bukan? Ouh
anatomi tubuh. Iya..iya itu yang ku maksud. Iya Bunda, aku mengerti. Sudah yah
Bunda, aku sedang terburu-buru, dah bunda.”
Aku harus segera mematikan telepon sebelum Bunda menanyaiku ini itu,
ah..ini benar-benar merepotkan.
Kenapa Bunda begitu cepat tahu dengan
rencanaku. Les itu benar-benar memang sangat membosankan. Makanya aku
memutuskan untuk pergi berjalan-jalan saja hari ini. Bukannya menyombong, sudah
memahami semua pelajaran yang diajarkan guru les ku nanti, tanpa harus duduk
manis di dalam kelas. Mungkin ‘kelebihan’ yang menurutku lumayan ‘menyengsarakan’
ini membuat Bunda semakin gigih mejadikanku seorang dokter.
Walaupun begitu tetap saja Bunda ingin aku
tetap menghadiri kelas. Aku tahu Bunda memberiku les ini dan itu adalah salah
satu bentuk usahanya untuk mempersiapkanku masuk universitas kedokteran,
nantinya. Tapi ini berlebihan. Aku kan masih 17 tahun.
Lagi pula ada beberapa cerpen yang belum aku
selesaikan. Tiba-tiba mataku berhenti pada seorang wanita yang sedang duduk di
kursi taman. Hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Tunggu? Bukankah dia
adalah orang yang ku temui di Kafe Batavia minggu lalu? Benar. Oh God, ternyata
dunia memang sesempit yang kukira. Wajahnya masih sesedih itu. Apa sih yang
orang ini pikirkan.
Aku berencana mendekatinya, tapi langkahku
tiba-tiba terhenti ketika melihat ada dua orang aneh yang sepertinya tengah
memperhatikan wanita itu. dua orang laki-laki yang sebenarnya biasa saja jika
dilihat sekilas. Tapi mereka benar-benar tidak terlihat biasa karena selalu
memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil menelpon. Seperti melapor.
Ah, mungkin hanya perasaanku saja. maka aku
memutuskan untuk tetap mendekati wanita itu. Mungkin dia membutuhkan teman
bicara. “Hai kakak.” Sapaku padanya setelah kami memang sudah begitu dekat. Aku
memilih untuk berdiri. Ingat, terakhir kali apa yang terjadi ketika aku meminta
izin untuk duduk di sampingnya? Wanita itu pergi. maka aku belajar dari
pengalaman. Aku tidak ingin wanita berwajah sedih itu pergi.
“Apa aku mengenalmu?” Tanya wanita itu dengan
ekspresi datar.
“Tidak, tapi kita pernah bertemu sebelumnya.
Ingat Kafe Batavia?” kataku sambil tersenyum lalu menjulurkan tangan padanya.
Hendak bersalam memperkenalkan diri. “Aku Raka,”. Lama tidak ditanggapi, aku
menarik tanganku kembali.
“Maaf, aku tidak mengenalmu.” Wanita itu tidak
peduli. Dan langsung meninggalkanku begitu saja. hei, ada apa dengannya? Aku
kan tidak bermaksud merebut tempat ini. aku hanya ingin berkenalan. Itu saja.
apa wajahku terlihat begitu mengerikan? Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak
gatal. Semua orang bahkan ingin meminta fotoku.
Tunggu, sepertinya ada yang aneh. Dimana dua
orang laki-laki yang tadi ada di sudt taman?
***
Aku benar-benar kaget. Aku bertemu dengan
laki-laki yang umurnya dua atau tiga tahun di bawah usiaku. Lagi? Ini bukan
pertanda baik. Aku masih ingat pertemuan pertama kami di Kafe Batavia itu.
Astaga, kenapa bisa bertemu lagi.Jangan-jangan laki-laki tadi adalah suruhan
wanita jalang itu. ini tidak baik. ini buruk sekali
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang bergetar
dari dalam ransel. Ah hanya telepon genggam milikku. Kali ini aku benar-benar
hati-hati. Memastikan siapa yang menelponku. Rasanya takut sekali memastikan
siapa itu. Setengah mennggigil, aku berusaha keras menatap nomor di layar.
Ah, ternyata bukan nomor aneh lagi.
“Iya, halo? Maaf, waktu itu aku tidak datang
tepat waktu. Maafkan untuk pertemuan yang tidak menyenangkan itu. Baiklah,
tentu..tentu. Kita masih bisa bekerja sama. Dimana? Um, di Taman kota, dekat
Jembatan lampion merah? Hari ini jam 6?. Baiklah.”
Aku menutup telepon. Yang menelponku kali ini
adalah pengarang yang kemarin itu ingin melakukan kerjasama denganku. Tapi
terkendala karena kita tidak jadi bertemu di Kafe Batavia karena aku yang
telat. Jembatan merah? Bukankah di sana hanya ada beberapa tempat duduk kosong
yang menghadap ke laut. Di sana tidak ada Kafe atau semacamnya. Hanya pedagang
kaki lima. Benarkah dia menyuruhku kesana?
Jangan-jangan.. ah cepat-cepat aku menghapus
pikiran buruk itu. ini bukan jebakan. Jelas-jelas nomor tadi aku mengenalnya,
dan ini memang hasil kesepakatan dari Cania sebelumnya. Tapi selera orang ini
memang aneh. Memilih Jembatan Lampion menjadi tempat diskusi? Baiklah, kali ini
aku tidak akan telat. Pekerjaan baru. Setidaknya aku bisa mengalahkan rasa
takut yang berlebihan ini.
***
Jembatan Lampion, Pukul 17.30 WIB
Masih ada setengah jam lagi. Aku masih punya
banyak waktu sebelum matahari terbenam. Menunggu magenta benar-benar pergi.
Tempat ini memang yang terbaik. aku memang sengaja memilih tempat ini untuk
berdiskusi soal novel yang akan nantinya akan aku kerjakan dengan orang itu.
hendphone sengaja ku matikan. Dengan ini Bunda tidak akan mengganggu. Bunda
selalu mengerti jika sudah begitu. Raka anaknya sedang menulis.
***
Jembatan Lampion, Pukul 17.15 WIB
Aku sudah berada di tempat. Lima belas menit
lebih cepat. Syukurlah. Banyak sekali orang-orang di sini. Aku baru
menyadarinya karena memang jarang keluar untuk bermain sebelumnya. Dulu Cania
sering memaksaku ke sini. Katanya tempat ini asik untuk dikunjungi. Tapi aku
selalu menolak karena sibuk.
Cania memang tidak lebay seperti film
tontonannya. Tempat ini benar-benar indah. Dari atas jembatan yang besar ini,
dihiasi banyak lampion. Banyak pula orang yang berjualan. Sepertinya sedang ada
festival. Aku mengerti sekarang kenapa nama jembatannya seperti ini.
Dari sini dapat pula melihat barisan pantai
yang indah. Pantai, bahkan aku belum pernah ke pantai sebelumnya. Lihatlah
guratan-guratan kuning tua di atas langi sana. aku tahu, orang sering
memanggilnya magenta. Penulis lain bahkahn sering terinspirasi untuk membuat
cerita ketika melihatnya. Aku? Aku baru kali ini melihat hal ini.
Ketika di siang hari, tempat ini begitu biasa.
Ternyata ketika beranjak malam, Jembatan Lampion terlihat sangat berbeda. Aku
memang belum bertemu langsung dengan orang yang aku temui beberapa menit ke
depan. Tapi dari sini, aku tahu kalau dia adalah orang yang menyenangkan.
“Iya, halo. Aku sudah di sini. Kau dimana? Oh,
aku harus jalan beberapa meter lagi? Di ujung jembatan? Baiklah.” Jawabku
riang, dari kejauha aku bisa melihat seorang laki-laki yang sedikit tinggi
dariku sedang membelakangi orang-orang. Dia bersandar pada pegangan jembatan
yang kokoh, melihat ke arah pantai lepas. Aku hanya bisa melihat bagian
punggungnya karena cahaya matahari begitu menyilaukan.
Aku hampir sampai, hanya lima langkah dari
orang itu. Hingga sesuatu yang menakjubkan terjadi. Matahari terbenam. Ya
Tuhan. Lihatlah, bola api yang tadinya terkesan begitu tegas, sekarang terlihat
begitu lembut. Perlahan menyatu dengan lautan. Lautan memeluknnya, membiaskan
warna-warna keemasan di permukaan laut. Magenta terlihat begitu sempurna ketika
detik-detik matahari akan ‘pergi’ untuk sementara waktu. Beberapa burung camar
terlihat terbang di kejauhan. Mengeluarkan suara seperti memanggil beberapa
temannya untuk pulang.
Perasaan damai tiba-tiba menelusup kedalam
tubuhku. Damai sekali.
“Indah bukan?” katanya sambil membalikkan
badan, menatapku. Aku demi melihat wajahnya langsung menjatuhkan beberapa notes
yang tadi tergenggam erat di tangan. Pun laki-laki itu yang tadinya tersenyum,
seketika megeluarkan raut wajah tidak percaya. “Kakak?” teriaknya kaget dengan
nada ala anak SMA. “Kau?” seketika angin laut menerpa wajah kami berdua.
***
Baiklah, hari-hari berlalu dan proyekku
menggarap novel dengan seorang penulis kondang itu berjalan dengan lancar.
Hanya saja kenapa harus dengan seorang anak SMA?
Setiap hari laki-laki ini selalu mengangguku
dengan cara-cara yang menyebalkan. Ketika sedang melakukan pertemuan untuk
membahas tulisan, dia dengan beraninya memintaku untuk membantunya membuatkan
pekerjaan rumah. “Wah, kakak. Kau ternyata hebat juga.” Begitulah komentar yang
sering aku dengar setiap kali aku menyelesaikan beberapa soal yang menurutku
berpikir, Ya Tuhan..apakah dia memang masih siswa SMA?
Tidak hanya sampai di sana. Dia sering sekali
menceritakan kakak perempuannya yang entah siapa itu. Cerewet benar ketika aku
menyinggung kakaknya yang menurutku terkesan lebay itu, suka film drama
mengharu biru. Tapi terkadang aku berpikir jika kakaknya terkesan seperti
Cania.
Belakangan ini, aku sering bepergian keluar.
Sesuatu yang sangat jarang aku lakukan dulunya. Raka, nama laki-laki itu,
sering membawaku ke mana saja, dan yang pasti tempat tersebut adalah tempat
yang paling sempurna menunggu matahari terbenam. Entah itu di pantai, atau pun
taman kota. Sepertinya aku mulai punya hobi baru. Menunggu matahari terbenam
sepertinya sudah menjadi hobiku.
“Kakak,?” Tiba-tiba Raka memanggilku yang saat
itu sedang serius mengerjakan isi pertengahan dari novel, proyek milik kami.
Kali ini Raka memilih tempat yang lebih efesien. Perpustakaan tepi pantai, dan
kami sedamg duduk di dekat jendela yang menghadap ke arah lautan.
“Ya?” aku tidak menanggapinya. Membiarkan suara ketikan laptopku tetap bekerja.
“Ternyata aku baru sadar, wajah sedih milikmu
itu sudah hilang sekarang. Aku sepertinya sudah berhasil”. Katanya lagi dengan
nada sopan, tapi terdengar begitu senang.
Aku langsung mengangkat kepalaku dan ganti
menatapnya. Apa maksudnya? Raka hanya tersenyum tipis. Tidak lagi menatapku,
tapi kembali serius dengan laptopnya. “Aku baru menyadari sesuatu, kalau
ternyata masih ada yang lebih indah selain matahari terbenam”. Gumamnya sambil
tersenyum manis di tengah keheningan kami. Aku berhenti sejenak,
memperhatikannya yang terus mengetik. Mungkin kalimat tadi merupakan bagian
dari isi novel miliknya.
“Kakak yakin, aku hanya mengantarmu sampai
sini saja? bukannya rumah kakak harus masuk gang lagi dari sini. Mobilku masih
bisa lewat kok.”
“Tidak usah, sudah jam 7, aku takut orangtuamu
khawatir. Terima kasih untuk hari ini. besok dilanjutkan lagi.”
“Iya, hanya tinggal konflik yang rasanya belum
sempat. Angle untuk beberapa bab rasanya belum terlalu kuat. Ah sudahlah,
mungkin besok masih ada waktu sebelum deadline yang jatuh di hari kamis.” Ucap
Raka, seperti berbicara tangan. Aku mengangguk sambil mengibaskan tangan.
Hari ini rasanya benar-benar melelahkan. Kami
sepertinya memang harus bekerja mati-matian untuk menyelesaikan buku itu dalam
minggu ini. Penerbit ternyata memajukan harinya. Sebenarnya waktu yang diberikan lebih dari
cukup, bahkan setelah waktu yang dimajukan itu. Tapi karena beberapa kendala
sebelumnya, buku ini harus melakukan sistem semalam. Aku akan langsung tidur
saja kalau begitu.
Tiba-tiba langkahku terhenti. Ada yang aneh
dengan apartemenku. Kenapa lampunya menyala? Apa ada pencuri? Tanpa pikir
panjang aku langsung membuka pintu dan masuk begitu saja. Tenggorokanku
tercekat ketika melihat seseorang yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu.
“Bagaimana kabarmu Sayang? Lama kita tidak
berjumpa.” Katanya menyapaku dengan nada yang terdengar begitu menjijikkan. Aku
mendadak merasa mual.
“KAU.?” Aku berusaha untuk berbalik melarikan
diri, ini tidak aman. Benar-benar tidak aman. Tapi belum sempat aku berlari ke
pintu. Tiba-tiba BRUUK.. ada seseorang yang rasanya memukul kepalaku dengan
keras. Perlahan, pandangan mataku berubah gelap.
***
Mataku rasanya berat sekali untuk dibuka. Apa
yang terjadi? Kepalaku rasanya berat sekali. Setelah diantar Raka tiba-tiba ada
wanita itu, Mama? Ah tidak, jangan-jangan aku ? entah dari mana tenagaku
rasanya pulih kembali. Aku takut kalau wanita itu berhasil membawaku ke rumah
bordilan itu.
“Raka?” desisku heran. Aku masih di apartemen,
dan banyak orang di sini. Bahkan polisi. Apa
yang telah terjadi?
“Tenanglah kak, semuanya baik-baik saja.
Polisi sudah mengurusnya.” Kata Raka menenangkanku.
“Apa..apa yang telah terjadi?” tanyaku,
gelagapan benar.
“Aku sudah tahu semuanya.” Kata Raka pelan,
menatapku dengan lembut. Tapi entah kenapa rasanya tatapan itu seperti
menuntutku. Aku langsung terdiam. Dia tahu, dia tahu? Ini mimpi buruk.
Tiba-tiba aku merasa jijik dengan diriku sendiri. Perasaan mual itu datang
lagi. Lalu semua gelap.
***
To: Kak Zafa
Senin, 1 Januari. Pukul 20:00 WIB
Kak, kenapa susah sekali ditemui?
To: Kak Zafa
kamis, 3 Januari. Pukul 10:00 WIB
Kak Zafa, Pagi ini
aku ke penerbitan, mereka bilang novel kita bagus. Minggu depan sudah berada di
Gramedia. Senangnya ^-^. Ayo makan-makan lagi.
To: Kak Zafa
Jumat, 23 Maret. Pukul 10:00 WIB
Kak, bisa kita
bertemu? Penting sekali
Berkali-kali aku membaca sms dari Raka. Masih
banyak lagi dan aku tidak benar-benar membukanya semua. Hanya membacanya. Sudah
dua bulan sejak kejadian itu aku berusaha untuk menghindar dari semua orang.
Semua orang sudah tahu, mereka akan berpikir buruk tentangku. Mereka akan
mencapku sebagai wanita sampah. Aku benar-benar takut.
Walaupun Mama sudah dijebloskan ke penjara bersama
antek-anteknya dengan kurung waktu lumayan lama. Hal ini tidak langsung
menentramkanku. Aku sudah terlanjur tercoreng, semua orang sudah tahu semuanya.
Benarkah ini akhirnya? Ooh Can. Dimana kau? Aku kembali tergugu. Entah kenapa
mataku begitu kuat menangi selama ini.
***
“Semuanya sudah siap Raka? Persiapan kuliah?
Atm? Apa lagi yang kurang. Dasar anak ini. Ayah, lihatlah, lusa dia akan pergi,
kenapa masih saja tetap bertingkah aneh seperti ini “.
Ayah hanya menghela nafas berat. Aku tahu itu,
walaupun tidak bersitatap langsung dengan ayah. Aku tidak perduli dengan Bunda
yang terus hilir mudik menyiapkan baran-barang. Lusa aku akan berangkat, tapi
entah kenapa hatiku rasanya tidak ingin pergi. masih ada yang tertinggal
rasanya. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Kak Can, andai kau masih di
sini. Mungkin kau bisa membantuku dengan taktik drama mu itu.
***
To: Kak Zafa
Sabtu,
1 Juli. Pukul 00:00 WIB
Kak, aku tahu kau pasti membaca pesanku. Tidak apa-apa
jika tidak dibalas. Oh iya, aku punya kabar baik, aku diterima di universitas
kedokteran Jepang. Mungkin aku tidak akan pulang untuk beberapa lama. Atau
mungkin tidak. Besok malam aku akan pergi ^-^
Ayolah,
kali ini saja, tolong balas pesanku ini. Setidaknya aku ingin tahu kabar. Kabar
saja. tidak lebih. Gumamku keras. Berkali-kali aku berdoa agar wanita ini mau
membalasku. Lama sekali, hingga aku hampir tertidur. Entah kenapa aku seperti
punya keyakinan jika kali ini pesanku akan di balas. Ternyata benar, tiba-tiba
handphone ku bergetar beberapa kali.
To: Raka
Sabtu,
1 Juli. Pukul 00:20 WIB
Syukurlah, aku
senang mendengarnya.
Mataku rasanya ingin keluar saat itu juga. Dia
membalas pesanku. Tuhan, terimakasih. Berarti dia benar-benar membacanya.
To: Kak Zafa
Sabtu,
1 Juli. Pukul 00: WIB
Kak, Bisakah bertemu
sekali saja. benar-benar sekali saja. aku janji tidak akan menganggumu setelah
ini. aku tidak akan meminta dibuatkan tugas lagi. Aku hanya ingin mengucapkan
kata perpisahan, untuk terakhir kalinya. Bolehkan? Besok aku tunggu di Pohon Flamboyan
depan gang itu, jam 5 sore.
Malam ini pesanku tidak mendapatkan balasan.
Tapi tidak apa-apa. Aku masih akan tetap menunggunya besok. Aku ingin
mengatakan sesuatu sebelum pergi. walaupun hanya mengatakannya. Aku tidak
peduli respon apa yang akan didapatkan nanti. Perasaan yang sudah menggumpal
sejak malam gerimis pertama di Kafe Batavia.
***
Sudah jam setengah enam. Tapi aku belum
melihat siapa-siapa. Mungkinkah dia tidak akan menemuiku sekali saja sebelum
aku pergi? jam terus bergerak, dan matahari
sudah terbenam beberapa pulh menit yang lalu. Sekarang sudah pukul tujuh.
Aku tersenyum pahit. Mungkin memang tidak akan
pernah terkatakan. Dengan setengah putus asa aku meninggalkan tempat itu. Aku
tahu harus kemana sekarang. Berbicara sebentar dengan Kak Can, mungkin bisa
sedikit menenangkan sebelum aku pergi.
“Kak Can, sepertinya aku akan jadi seorang
dokter juga.” kataku pelan, mengusap batu nisan yang terhampar di depanku.
“Coba tebak, aku diterima di Jepang, kampung halamanmu itu. Tempat kelahiran
ibu yang kau cintai. Kau tentu menertawakanku dan bilang ‘Sudah gua bilang, elu
pasti jadi seorang dokter’ begitukan kak?”
“Tapi aku tidak bisa pergi, aku benar-benar
tidak bisa pergi. Kalau pun pergi, pasti ada yang tertinggal di sini. Bukankah
itu tidak boleh? Kau bilang jangan meninggalkan sesuatu ketika bepergian. Kau
yang bilang begitukan?” tiba-tiba bulir-bulir hangat mengalir nakal di sela
mataku. Sial. Kenapa harus menangis di depan seorang wanita.
“Kak Can, maaf kalau aku menangis. Tapi aku benarkan.
Kau pergi selamanya lantaran kau memang meninggalkan sesuatu di sini. Aku tahu
kau selalu memikirkan temanmu yang belum berhasil aku temui itu, maafkan aku..”
ah, air mata ini benar-benar mengganggu. “Tapi jika kau dulu selalu memikirkan
aku adikmu ini, maka sudahlah, aku baik-baik saja sekarang.”
“Tapi aku benar-benar tidak bisa pergi, karena
aku meninggalkan sesuatu Kak Can..aku meninggalkan Cinta pada seorang wanita.
Aku benar-benar tidak peduli tentang masa lalunya sebagai pelacur, aku hanya tahu
jika dia adalah wanita berwajah sedih yang ku temui di Kafe malam itu, aku
hanya berniat menghapus wajah sedihnya.” Rasanya aku benar-benar meledak saat
ini. Air mataku tupah semua, persetan dengan statusku sebagai laki-laki. Kau
bilang menangislah ketika kau sedih, bukankah begitu Kak Can?
“Aku hanya tahu jika adalah wanita yang begitu
manis ketika sedang tertawa, wanita yang sama-sama menyukai senja, kalau memang
takdirku untuk tidak bersama-sama lagi, bisakah untuk sekali, saja bertemu
dengannya. Sekali saja. Kak Can.. apa yang harus aku lakukan?” aku langsung
jatuh ke tanah dan terduduk sambil menundukkan kepala.
Aku sudah mengatakannya. Setidaknya aku
mengatakannya pada Kak Can. sudahlah jika wanita itu tidak mengetahui ini. Aku
sungguh benar-benar sudah senang. Maka biarkan untuk sekali saja aku menangis
sepuasnya di sini. Tidak peduli Kak Can, kau mau marah atau tidak padaku di
alam sana. aku hanya ingin menangis,
“Terimakasih”. Tiba-tiba aku merasakan
kehadiran seseorang di belakangku. Siapakah?
Ya Tuhan, suara itu? aku langsung membalikkan
badan dan mencari sumber suara.
“Terimakasih sudah mengatakan hal itu.”
katanya lagi
“Ka.. Zafa?” gumamku pelan, takut kalau ini
hanya mimpi. Wanita itu sedang berdiri di sisi lain makam Kak Can sambil
memegang sekeranjang bunga rampai. Menangis. Dan gerimis tiba-tiba datang lagi.
Datang dengan suasananya yang menyenangkan.
***
Notes Zafa
Aku sudah bisa menceritakan sesuatu selain
pekerjaan padamu sekarang Can. Terimakasih telah menjadi teman yang baik. aku
punya penggantimu sekarang. Raka, adik kebanggaanmu itu.
Tenang saja, aku tidak akan kangen.
Ada satu hal yang ku pelajari dari Kau dan
Raka. Ketika kau merasa sendiri, cobalah untuk melihat senja.
Comments
Post a Comment