Skip to main content

Mudik

Hasil gambar untuk gambar ilustrasi mudik
Foto: Medcom.id/Mohammad Rizal.

Beli baju baru?
Membuat kue lebaran?
Atau menyiapkan mental dan materil untuk mudik ke kampung halaman?

Beragam ‘ritual’ yang dilakukan oleh sebagian besar orang muslim untuk menyambut hari Raya Idul Fitri. Tiga hal di atas menjadi kegiatan yang paling sering dilakukan. Hampir semua orang menyibukkan diri untuk mencari baju baru untuk dikenakan di hari lebaran. Aku tidak bisa bilang semua orang karena masih ada masyarakat budiman yang memilih untuk menyelamatkan uangnya (aku, misalnya).

Tidak ada yang salah dengan efiora membeli baju baru. Bahkan sangat dianjurkan bagi yang mampu. Membeli sesuatu akan memberikan kebahagiaan tersendiri tidak hanya dari ia yang membeli. Pedagang baju tentu akan lebih gembira lagi.

Namun pernahkah saudara-saudara, kawan-kawan, handai taulan sekalian penasaran kapan kiranya membeli baju baru sebelum Hari Raya Idul Fitri menjadi budaya kita? Sejujurnya aku belum pernah dengar dari guru mengaji jika di zaman Rasulullah adalah sunnah hukumnya membeli baju sebelum hilal terlihat di puncak langit.

Kadangkala aku berpikir, mungkin pencetus utamanya adalah orang iseng yang sekadar mengisi kekosongan karena kebingungan ingin melakukan apa.

Saya sudah membuat seratus kotak kue nastar selai nanas, so what? 

Dan tercetuslah untuk membeli baju baru di pasar dan ketika Idul Fitri tiba, ia menjadi orang yang mencolok. Ya, karena baju baru!

Mungkin saja sebenarnya ini konspirasi. Dahulu kala budaya itu datang oleh seorang pedagang baju di desa yang sedang frustasi. Kebutuhan di bulan Ramadhan membludak dan hari raya akan bertandang ke pintu rumahnya yang dapurnya sudah lama sekali tidak mengepul.

Pedagang baju membuat gosip dan trend jika pemerintah dan masyarakat di perkotaan membeli baju menjelang lebaran. Orang-orang percaya (katakanlah televisi masih belum begitu banyak dibuat pabrik, android belum diciptakan dan koran masih malas untuk dibaca).  Tidak seorang pun yang tahu.

Intinya baju baru saat lebaran bukanlah anjuran wajib bagi agama. Jadi santai saja jika ada yang tidak punya atau sempat untuk membelinya (tulisan ini jelas didedikasikan kepada penulis sendiri). Tidak perlu sedih dan gengsi melangkahkan kaki menuju masjid ataubersilaturahmi ke rumah sanak keluarga.

Sesungguhnya ketika kamu telah melaksanakan ibadah puasa dengan sempurna, menjalankan sholat lima waktu siang dan malam, ditambahkan ibadah sunnah lainnya, kamu sudah boleh Percaya Diri (PD) untuk meminta THR (oke, tentu bukan itu poin utamanya. You know lah).

Bicara soal kesedihan, mungkin perantau yang tidak pulang pantas menjadi juaranya (kembali, tulisan ini didedikasikan kepada penulis). Ketika semua orang sibuk mengemas oleh-oleh dan pakaian di dalam koper, perantau yang tidak pulang justru mojok dan menghitung sisa-sisa uang mereka.

Ketika orang sebal mendengar keputusan dari bos mengumumkan waktu cuti kerja hanya lima hari, para perantau yang tidak pulang ini akan menghela nafas lega diam-diam. Bersyukur jika kesunyian suasana kosan tidak akan menyergap mereka terlalu lama.

Tidak ada yang tahu pasti kenapa mereka memilih untuk tidak pulang.  Bahkan orangtua dan saudara mereka mungkin bersedih sekaligus kebingungan, kenapa? Apakah perantau ini sengaja? Apakah mereka sedang mencoba menantang adrenalin, seberapa kuat menahan jiwa untuk tidak merengek mendengar takbiran di kampung orang?

Tentu saja bukan!
Banyak hal yang bisa menjadi alasan. Alasan-alasan itu biasanya datang dari konstruksi sosial atau cara pandangan masyarakat lokal. Seperti malu mudik karena berpikir masih belum bisa memberikan apa-apa pada keluarga. Jadi ketimbang batang tubuh yang datang, alangkah baiknya jika mengirimkan uang. Itu lebih membantu.

Alasan lain mungkin saja karena ada pencapaian yang dirasa belum dapat diraih. Fulan mengejar target kue nastar selai nanas terjual 100 kotak, namun yang terjual hanya 99 kotak dan dia memutuskan untuk cancel tiket mudik!

Atau karena takut akan ditodong oleh beberapa pertanyaan yang menyeramkan? Wahai pemuda – pemudi, coba sebutkan satu pertanyaan yang dapat membuat jantungmu berdetak lebih kencang, badanmu panas dingin dan mulutmu meracau tidak jelas?

Kapan menikah?

Dua pertanyaan tersebut adalah mimpi buruk bagi generasi milenial yang dikenal masih suka menyecap petualangan. Tentu dua pertanyaan itu tidaklah cukup. Pertanyaan itu akan terus beranak tanpa batas.  Kapan beli rumah, Kapan punya anak, kapan punya cucu, dan seterusnya. Ke depan bukan tidak mungkin ada yang berani untuk bertanya kapan mati?

Seorang kawan pernah menyatakan pengakuan ia tidak akan pulang sebelum mendapatkan jodoh di perantauan (pada akhirnya ia pun tidak kuat dan memilih menerima teror kapan menikah). Kawan yang lain pun setelah bersemedi dan shalat tarawih tiap malam pun telah mantap jiwanya untuk mudik. Dengan PD ia mengatakan padaku sudah punya jawaban pamungkas jika diberi pertanyaan horor tersebut.  “Kamu mau jawab apa?” tanyaku. “Ya paling gue tanya balik, anak ibuk ada yang gadis gak?”  Kebetulan temanku ini laki-laki.

Jawaban yang epik tapi sempat memunculkan kebingungan. Bagaimana kalau anak si ibu bukan gadis dan justru malah bujangan?

Lebaran kali ini aku pun memutuskan untuk tidak pulang. Banyak pertimbangan yang berkelibat di dalam kepala. Insyallah Akhir bulan ini aku akan wisuda. Semoga Tuhan melancarkan segala urusan dan selalu memberikan kesehatan. Amin. Tahun ini mungkin tidak akan mudik dan aku meragukan untuk awal tahun berikutnya.

Arah angin sepertinya  semakin menuntunku untuk tetap tinggal di sini. Tentu aku tidak cengeng, menangis atau melakukan tindakan lain. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat berada di perantauan dan aku hampir ‘terbiasa’.

Sejujurnya, ada alasan lain yang muncul yaitu betapa sensitifnya aku pada pertanyaan di atas. Beberapa orang mungkin menganggap pertanyaan seperti kapan menikah, kapan wisuda, dan kapan lainnya adalah lawakan untuk mengisi kekosongan (penulis berencana menulis permasalahan milenial ini lebih detail lagi dipostingan selanjutnya).

Padahal jika mau lebih peduli dan menelisik lebih dalam lagi, pertanyaan-pertanyaan seperti itu merupakan tekanan mental yang membawa pengaruh luar biasa. Salah satunya yaitu ketakutan untuk mudik.

Kenapa kita tidak bisa membiarkan setiap orang mudik dan berkumpul bersama keluarga dengan tenang? Kita tidak pernah tahu apa yang mereka hadapi di perantauan sana. Bertemu keluarga sembari bercengkrama bisa saja menjadi penawar dahaga jiwa mereka.

Jadi bagaimana lebaran bagimu?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Last Wekkend (Bag.1)

Aku, Hanyo, dan Pohon Sakura Add caption Sudah lewat tengah malam, dan aku masih terjaga. Jenis manusia macam apalah aku ini. Bahkan sudah beberapa butir obat tidur yang ku telan, tapi belum ada tanda-tanda bahwa aku akan segera tidur. Insomnia yang rasanya semakin parah saja. Sejak kapan ya? Sebelum ini rasanya baik-baik saja. Bahkan sebelum Isa datang, mataku rasanya terlalu berat untuk dibuka. Apa yang aku pikirkan? “Kita jelas-jelas tidak cocok,” kalimat yang masih tergurat rapi di ingatan. Aku tersenyum gila, sembari menatap kaca. Tidak cocok katanya? “Lah, kenapa? kita sama-sama suka Harry Potter, melihat senja di pantai, melakukan sesuatu yang asik di luar, menulis puisi, dan ada beberapa buku yang...” “Apa kamu tidak mengerti juga? kita tidak akan pernah cocok untuk lebih, menjadi sahabat adalah pilihan terbaik,” lanjutnya lagi, meninggalkan beberapa guratan wajah tanpa ekspresi lal meninggalkanku begitu saja bersama bias-bias magenta yang hampir menghilang

Tips Khatam Al-Quran Saat Ramadhan Bagi Perempuan

Foto: Google Bulan suci Ramadhan menjadi momen terbaik bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia untuk meningkatkan intensitas dan kualitas ibadah. Setiap orang berlomba-lomba berbuat kebaikan demi mengejar ridho dan pahala yang dilipatgandakan oleh Allah SWT. Pelbagai jenis ibadah dilakukan, salah satunya membaca Al-Quran. Membaca Al-Quran   menjadi salah satu ibadah favorit yang kerap dilakukan saat bulan Ramadhan. Selain sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah, saat membaca satu huruf dalam Al-Quran maka akan dinilai dengan satu kebaikan pula dan dikalikan sepuluh. Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu bersabda: “Barang siapa yang membaca satu huruf di dalam kitab Allah (Al-Quran) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan dengan sepuluh (pahala). Aku tidak mengataman Alif Laam Mim adalah satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Mim satu huruf. (HR. Tirmidzi) Karena itulah, banyak yang berkeinginan untuk meng

Sampah

Foto : Aisyah Nursyamsi Sampah Apa yang pertama kali terbayang olehmu jika kata ‘sampah’ keluar begitu saja dari mulut orang-orang? Ejekan? Celaan? Atau memang kata itu keluar karena ingin menunjukkan keberadaan sampah itu sendiri? Aku sendiri tidak punya masalah pribadi dengan ‘si sampah’ ini. Kita belum pernah terlibat dalam permasalahan dan aku belum pernah punya dendam padanya. Cuma ketika pergantian tugas di bulan April ini, semua pandangan itu berubah. Sampah kini telah tanda kontrak untuk berurusan denganku. Aih, tidak. Sebenarnya bukan se’diplomatis itu. Peralihan tugas dari penjaga media sosial kantor menuju lapangan telah mempertemukanku dengan ‘buangan’ manusia ini. “Aisyah, bulan ini kita akan bikin video tentang sampah di Indonesia. Tidak perlu dibuat bercerita. Akan dibantu produser untuk bikinkan storylinenya. Sekarang kamu riset, dimana sampah paling parah berada dan ambil beberapa visual soal sampah.” Sekadar informasi usang yang mungkin s