Foto : Aisyah Nursyamsi |
Sampah
Apa yang pertama kali terbayang
olehmu jika kata ‘sampah’ keluar begitu saja dari mulut orang-orang? Ejekan?
Celaan? Atau memang kata itu keluar karena ingin menunjukkan keberadaan sampah
itu sendiri?
Aku sendiri tidak punya masalah
pribadi dengan ‘si sampah’ ini. Kita belum pernah terlibat dalam permasalahan
dan aku belum pernah punya dendam padanya. Cuma ketika pergantian tugas di bulan April ini, semua pandangan itu berubah.
Sampah kini telah tanda kontrak
untuk berurusan denganku.
Aih, tidak. Sebenarnya bukan
se’diplomatis itu. Peralihan tugas dari penjaga media sosial kantor menuju
lapangan telah mempertemukanku dengan ‘buangan’ manusia ini. “Aisyah, bulan ini
kita akan bikin video tentang sampah di Indonesia. Tidak perlu dibuat bercerita.
Akan dibantu produser untuk bikinkan storylinenya. Sekarang kamu riset, dimana
sampah paling parah berada dan ambil beberapa visual soal sampah.”
Sekadar informasi usang yang
mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia sudah ‘paham’ betul. Sampah bukan hanya menyoal plastik dan
bahan sisaan yag berbau. Kadang sesuatu yang terlihat bersih pun bisa menjadi
sampah yang paling berbahaya. Misalnya Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Mungkin lebih tepat jika diberi
julukan sebagai sampah limbah.
Limbah yang tidak selalu berbentuk cairan hitam pekat lagi bau. Menurut
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) di tahun 1995 bahan
limbah merupakan bahan sisa dari kegiatan proses produksi yang mengandung bahan
berbahaya. Dampaknya dapat dirasakan secara langsung atau membutuhkan waktu
yang lumayan lama. Tidak hanya mengancam kesehatan san jiwa. Zat berbahaya zat
B3 ini dapat pula berdampak pada lingkungan yaitu mencemari dan merusak.
Termasuk detergen yang seringkali
masyarakat pakai untuk mencuci pakaian. Oh iya, jangan lupakan juga sabun mandi
dan odol.
Kebetulan beberapa minggu yang
lalu ada berita viral dari netizen. Media pun tak kalah riuh memberitakan Pisang
Batu yang dipenuhi oleh sampah sepanjang
1,5 kilometer. Hari itu juga aku melakukan riset dadakan dan bertanya ke
beberapa kawan yang berada di organisasi lingkungan dan alam. Dan mereka mengiyakan.
Inilah kali pertama aku
menyiapkan rencana keuangan liputan dan melihat persiapan alat secara langsung.
Tempat pertama yang kami jalang adalah Pasar. Tidak ada yang bisa
mengelak jika keberadaan pasar tidak pernah lepas dengan persoalan sampah. Kami memilih
Pasar Induk Kramat Jati. Tidak ada alasan khusus, pasar ini memang tempat jual
beli tradisional terbesar di Jakarta. Jadi melihat proses pengangkutan sampah
dipastikan dapat tertangkap dengan baik.
Butuh 2 minggu untuk mendapatkan
izin dari atas. Dahulu aku menyangka jika ingin mengambil gambar atau liputan
suatu tempat, kau tinggal datang saja ke sana. Semua teori ku terbantahkan
semua. Banyak interaksi yang harus dilakukan entah itu dengan petugas keamanan,
pengelola pasar bahkan sesekali harus bertegur sapa dengan penjual. Pernah satu
kali ku tanyakan perihal izin yang sulit ini pada rekan kameramen.
Dia menjawab memang sudah menjadi keharusan, jadi bersabar saja. Hal buruk yang akan menimpa jika tidak konfirmasi terlebih dahulu adalah penyitaan kamera. Tentu saja aku tidak ingin hal ini terjadi apa lagi pada liputan pertamaku. Izin di dapat, kami pun mulai bergerak. Pengambilan gambar pun dilakukan setelah subuh hingga tengah hari.
Dia menjawab memang sudah menjadi keharusan, jadi bersabar saja. Hal buruk yang akan menimpa jika tidak konfirmasi terlebih dahulu adalah penyitaan kamera. Tentu saja aku tidak ingin hal ini terjadi apa lagi pada liputan pertamaku. Izin di dapat, kami pun mulai bergerak. Pengambilan gambar pun dilakukan setelah subuh hingga tengah hari.
Pernah dengar Kali Pisang Batu? Ya,
sungai ini sempat viral di media sosial karena aliran airnya tertutup oleh sampah sepanjang 1,5 kilometer. Aku sudah membayangkan gambar akan terambil dengan
sangat bagus di sungai ini. Tapi setibanya di sana, kali itu telah bersih dan
hanya ada sedikit sampah yang hanyut di atasnya. Seharusnya ini berita baik,
tapi tidak dengan kebutuhan gambarku (terdengar sangat jahatkah?)
Perasaanku lumayan kecewa dan
getir. Liputan pertamaku ternyata tidak semulus jadwal yang telah disusun. Tapi
rasa cemas itu harus enyah karena kebutuhan gambar yang lain harus terus
dicari.
Agenda selanjutnya yaitu Bantar
Gebang. Seumur hidup aku belum pernah ke sana. Bayanganku tentang gunungan
sampah dan bau yang menyengat hingga menyerap ke dalam kulit hanya rumor-rumor
yang ku dengar dari mulut orang-orang. Belum ku lihat dengan mata kepala
sendiri.
Serupa halnya dengan pasar, kami
pun meminta izin terlebih dahulu. Kali ini dengan prosedur yang lebih
tersistim, berkirim surat lewat email dan menunggu konfirmasi terlebih dahulu. Untuk
bagian ini agak sedikit pelik karena jadwal tak kunjung diberikan. Setiap hari, selaku orang yang bertanggungjawab tentang keberadaan liputan hatiku kerap kali was-was
jika izin tidak terpenuhi. Tapi Allhamdulillah,
kekhawatiran itu lenyap karena izin akhirnya keluar 7 hari setelahnya.
Sempat tersesat dua belokan, kami
pun tiba. Aku yang tidak pernah melepas pandangan dari jendela dari awal keberangkatan merasa takjub.
Setelah melewati gapura Bantar Gebang, pertanyaan besar muncul. Kenapa pula ada plastik turban
berwarna hitam berukuran raksasa berada di atas bukit|? Tidak hanya satu, tapi tujuh!
Usut punya usut, gunung kecil
yang ditutup oleh turban bewarna hitam itu adalah sampah! Aku sendiri tidak
bisa membayangkannya. Tujuh gunung kecil yang ku lihat ini seutuhnya adalah sampah?
Hal yang pertama kali kutemukan ketika membuka pintu adalah bau yang menyengat dan lalat. Meskipun demikian, sampah tertata dengan rapi dan berada di tempatnya masing-masing. Pengelolaan sampah pun cukup baik. Kami harus mengikuti beberapa aturan dan mengenakan pakaian yang disediakan dari sana (seperti rompi kuning dan sepatu boot).
Hal yang pertama kali kutemukan ketika membuka pintu adalah bau yang menyengat dan lalat. Meskipun demikian, sampah tertata dengan rapi dan berada di tempatnya masing-masing. Pengelolaan sampah pun cukup baik. Kami harus mengikuti beberapa aturan dan mengenakan pakaian yang disediakan dari sana (seperti rompi kuning dan sepatu boot).
Tapi dari sisi orang melankolis
macam aku ini, ada sesuatu yang berharga ku dapati dari balik tumpukan sampah. Aku menangkap satu hal yang terpenting yaitu semangat hidup. Jika
kawan-kawan pembaca sempat berkunjung ke Bantar Gebang, cobalah menaiki
gunungan sampah dan lihatlah apa yang terjadi ketika mobil pengangkut sampah
datang dan memutahkan muatannya. Iya, belasan bahkan puluhan pemulung mendekat dan berebut
mencari sampah daur ulang. Tanpa rasa takut mereka pun bergegas mencantol sampah-sampah plastik. Bimbang pun tidak saat mereka mendekati traktor yang kapan pun dapat
mengenai mereka.
Apakah pemulung itu benci dengan
hidup mereka? Tidak ada yang tahu. Hanya saja mereka tidak pernah berhenti mengais sampah
untuk terus bertahan hidup. Orang-orang ini mungkin
tidak mengucapkan rasa syukur lewat lisan dan lafaz, tapi mereka telah
melakukannya dengan pembuktian dan eksekusi. Bagaimana dengan kita yang masih
bosan dan jenuh dengan kehidupan? Kalau masih bisa mengenyam nasi tanpa harus beradu
tangan dengan sampah secara bersamaan, aku sarankan harus lebih bersyukur (sebenarnya kalimat ini juga ditujukan khusus pada aku, selaku penulis).
Jangan kalah dengan sampah. Sampah saja masih bisa berdaya guna. Bagaimana dengan kita yang masih berstatuskan sebagai manusia?
Comments
Post a Comment