Menjadi Musafir Sejenak ke Maumere,
Flores
Hari
Pertama, Jumat 29 Maret 2019
Foto: Aisyah Nursyamsi |
Kalau ku
jauh, bayangan mendekap. Ketika menyatu, lanskap membiru. Begitulah kesukaan
Tuhan yang gemar menafsirkan, lampau betul dari terjemah akal manusia.
Belum ada bayangan jika diri akan melangkah
ke Indonesia bagian timur dalam penugasan liputan pertama kali. Sebelumnya
tugasku hanyalah seorang admin yang ‘rajin menulis’. Satu bulan berakhir, aku
pun transisi ke lapangan, menjadi reporter sekaligus seorang kameramen amatir
yang diharuskan peka dan fleksibel memainkan angle. Bulan ke kedua setelah
bekerja di tempatku saat ini, Flores, Kabupaten Sikka di kota Maumere menjadi
daerah luar kota (lebih tepatnya luar pulau) yang pertama kali ku kunjungi.
Anehnya tidak ada ketakutan apa pun yang
muncul saat bepergian. Kecuali
kekhawatiran akan kesalahan bagi seorang pemula yang baru berkenalan dengan
kamera. Memang seharusnya aku takut.
Bukannya lebai atau bagaimana. Maumere, Flores bukan lagi daerah yang dibilang
sekadar jauh. Kau harus melompati ribuan pulau dan puluhan kilometer lautan dan
daratan. Maumere bukan lagi Sumatera yang ku yakini seluk beluknya.
Kekhawatiran lain sebenarnya muncul dari
keluarga. Saat mengabarkan penugasan selama empat hari, kedua orangtuaku sempat
terdiam beberapa detik sebelum berkata sepatah kata. Mungkin ada dua
pertentangan yang muncul di dalam kepala mereka. Mungkin aku sedang jatuh cinta pada pekerjaan,
atau karena efek akan bepergian jauh ke tempat asing yang teramat baru untukku
(dua-duanya adalah sebuah sensasi bagiku).
Memang Jumat adalah hari dimana peliputan
pertama dilakukan. Tapi bukan berarti Kamis menjadi hari santai buatku. Setelah
riset begadang hingga pukul 3 dini hari di kantor, paginya aku bersama rekan
mendapatkan tugas liputan dadakan di sebuah hotel bintang lima. Tidurku baru 3
jam, nyawa pun sepertinya belum utuh
masuk ke dalam raga. Tapi penugasan tentu tidak dapat ditolak kedatangannya. Ya
walaupun benar-benar mendadak bagai sakit jantung ‘bagi penderitanya’ aku tetap
berangkat dengan seorang rekan kerja.
Kami mengurai ketegangan dengan sedikit
berbicara (seharusnya aku melakukan sebaliknya bukan?). Sempat tersesat ke
penerbangan Internasional, akhirnya kami pun mengantri juga selama 15 menit untuk chek in. Cukup lama karena kebanyakan
mereka yang dalam antriian adalah bule yang mungkin tengah pesiar ke Indonesia.
Kesulitan bahasa mungkin menjadi faktornya. Bang H, sang Kameramen hanya
bergumam. “Lama bener.”
Setelah melakukan semua prosedur, aku dan
Bang H memasuki ruang tunggu dengan muka mengantuk. Ya, karena belum ada di
antara kami yang benar-benar tidur hari itu. Terutama aku yang hanya terhitung
empat jam (sungguh tidak sehat, mengingat orang dewasa minimal harus punya delapan
jam untuk waktu punya waktu tidur).
Beruntungnya kami tidak perlu menunggu begitu
lama karena limat menit pantat baru mencium tempat duduk, panggilan keberangkatan
telah diinformasikan lewat pengeras suara.
Makassar menjadi tempat transit pertama kami.
Bagaimana perjalanan di dalam pesawat?
Tidak ada yang begitu istimewa karena 90%
dari take off, mataku terpejam bak orang mati. Lantas kemana 10%nya? Yah, aku
terjaga ketiga pramugari datang membawa makan malam dan cemilan. Siapa juga
yang mau menolak makanan ketika perut telah memainkan orkestra musik keroncong?
Tepat pukul 04.00 pesawat yang kami naiki
tiba di Bandara Hasanuddin dengan selamat tanpa guncangan yang cukup berarti
(mungkin).
Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum
kami menaiki pesawat langsung menuju Maumere. “Tidur dulu aja, Syah,”kata Bang
H. Aku mengiyakan dan mencari tempat yang pas untuk ditumpangi beberapa waktu.
Namun hanya beberapa kursi panjang biasa yang rasa-rasanya hanya bisa seljooran
saja di atasnya. Sudahlah, tidak ada banyak waktu untuk memikirkan ‘keyamanan’
saat bekerja. Aku meletakkan tas berisikn drone tanpa pikir panjang. Namun
kawan sejawatku menghenikan. “Di sana kayaknya ada tempat duduk yang bisa
dijadikan kasur, Syah.”
Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, aku
menurut saja dengan kelincahan yang entah dari mana. Benar saja! Di antara
bandara yang begitu besar dan banyak ruangan, Bandara ini punya ruangan khusus
berisikan sofa kecil yang bisa digeser-geser sesuka hati. Aku memuji ketajaman
penglihatan Bang H.
Hanya sebentar saja. Setengah jam lebih ku
kira, namaku telah dipanggil kembali oleh Bang H. Saatnya naik ke pesawat
menuju Maumere. “Lah, hp gue mana,
Bang?” aku baru menyadari benda yang wajib keberadaanya itu tidak lagi tergenggam.
“Bukannya tadi sempat elu peluk? Coba cek lagi ke sana.”
Aduh! Jangan sampai liputan pertama ke luar
kotaku malah bertukar menjadi momen ganti handphone baru. Percayalah, di saat
kritis seperti ini, keberadaan android baru menjadi tidak lucu. Setengah berlari aku kembali mengejar ruangan
sofa tadi. Allhamdulillah, puji
Tuhan. Masih ada!
Ada yang berbeda dengan pesawat yang aku
tumpangi.
Ukurannya tidak sama seperti pesawat pada
umumnya yang seringkali aku naiki. Lebih kecil dan muatan penumpang pun tak
sampai 100 orang. “Bukan Boing, ya.” Gumam Bang H yang seperti paham apa yang
aku pikirkan.
Ada sedikit perasaan ngeri. Pesawat sekecil
ini pasti akan lebih terasa terombang-ambingnya saat terbang ke atas langit. Oleh
karenanya saya berkomitmen untuk tidur sepanjang jalan. Dan berhasil!
Pukul 09.00 WITA, kami tiba dengan ya bisa
dibilang, Alllhamdulillah, selamat. Kekhawatiran
naik pesawat kembali beralih dengan narasumber. Belum ada balasan baru dari
Abah Rasyid Wahab yang akan menjadi narasumber kami kali ini.
Foto: Aisyah Nursyamsi |
“Kemana kita, Syah?” Bang H mengangkat semua
barang kami dan membawanya keluar bandara. Pertanyaan ini seakan menjadi ujian,
sejauh mana kematangan risetku sampai jam 3 pagi itu. Sembari melihat catatan, aku tidak pernah melepaskan pandangan pada hamparan pegunungan yang hijau, lengkap dengan langit birunya.
Foto: Aisyah Nursyamsi |
“Ke hotel Binongko Jaya saja bang. mJaraknya
dekat dengan Bandara dan IKIP Muhammadiyah.”
“Oke,” ujarnya. Tidak ada keraguan dan
pertanyaan tingkat lanjut. Rasa percaya yang cukup menyeramkan.
“Seperti biasa, keluar bandara kami langsung
diserbu oleh pengemudi travel. Menawarkan tarif dan kebaikan ‘hati’ membawa
barang. “Binongko Jaya.” Kata Bang H dengan raut wajah serius. “Baik kakak,” jawab
salah seorang laki-laki berwajah khas timur itu. Kami pun akhirnya dapat
tumpangan ke Hotel. Benar-benar suasana yang berbeda, bahasanya yang tidak ku
mengerti, begitu pun dengan terik matahari yang tidak sama.
Hanya 10 menit dan kami sudah tiba di kamar
masing-masing. Tadinya aku memutuskan untuk tidur sampai jam 11 dan kami
bersiap menuju IKIP Muhammadiyah untuk mencari tahu keberadaan rumah Abah.
Namun pengharapan itu terganti dengan telepon yang masuk dengan nomor tidak
dikenal.
“Assalamua’alakium,” suara kebapakan itu
muncul dari seberang sana. Di sini aku
menerka-nerka suarapa milik siapakah itu? Belum sempat ku melontarkan
pertanyaan, laki-laki itu langsung memperkenalkan diri, beliau adalah anak dari
Abah Rasyid Wahab sekaligus ketua Muhammadiyah di Maumere saat ini.
“Masya Allah. Bisa dekat sekali ya. Rumah
Abah persis di depan Hotel Binongko Jaya.” Laki-laki yang kemudian akrab
dipanggil Ustad itu pun terdengar takjub. Lewat dari sana kita tidak perlu
payah-payah mencari Abah karena orangnya sendiri tengah menunggu kami di IKIP
Muhammadiyah.
Hari pertama angenda kami shooting kegiatan
Abah menjelang Magrib hingga Isa pun selesai dengan lancar (semoga).
Masih ada tiga hari untuk menyelesaikan
pekerjaan.
Bersambung . . . . .
Comments
Post a Comment