Skip to main content

Salju Terakhir di Musim Dingin




“Pernah dengar tentang dejavu?” tanyanya dengan nada riang, terdengar begitu ringan tanpa beban. Padahal aku tahu apa yang baru saja terjadi padanya.
noren-id.com
“Apa tidak sakit?” Aku kembali menanyakan hal yang sama untuk ke sekian kalinya. Ku rasa ini sudah pertanyaan yang ke sepuluh. Dan tak satu pun ia menjawab. Aku kembali memperhatikan beberapa luka memar di keningnya. Aku tahu ada beberapa titik di daerah kepala yang berdarah. Apa ayahnya memukulinya lagi? Aku tidak akan terkejut karena, sudah menjadi hal yang biasa bagiku melihat Faza babak belur seperti ini, tak jarang bahkan lebih. Dan biasa pula bagiku melihat Faza yang selalu tertawa dan menganggap jika ‘sikap manis’ ayahnya ini tidak terlalu menyedihkan untuk diceritakan.
“Aku sepertinya pernah melakukan pembicaraan ini, di sini. Berada di kali dengan warna air yang selalu sama. Cokelat kehitaman. Hei, Rinai. Sepertinya kita pernah seperti ini sebelumnya. Kau tahu, suasana di sore seperti ini rasanya juga sudah pernah kita,” Teriaknya girang tanpa memperdulikan apa yang baru saja aku tanyakan. Aku bingung dengan apa yang Dia senangkan.
Aku hanya diam mendengar ocehannya. Aku sebenarnya ingin melemparkan pertanyaan lagi mengenai kepala yang lebam dan berdarah itu. Berharap Ia akan bercerita, mengeluh, atau menangis bersamaku. Tapi lupakan saja, Ia tak akan pernah menjawab semua pertanyaanku dengan mudah, jika semua itu tentang luka.
“Rasanya apa yang terjadi hari ini sudah terjadi kemarin Rinai, Ayah masih memukuliku dengan ganggang sapu yang sama. Ayah juga sudah menyumpahi aku dan ibu dengan kalimat yang sama hari ini. Aku merasa semua itu sudah terjadi sebelumnya, Kau tahu. . .” kalimatnya terhenti. Ku dengar suaranya sesegukkan, kemudian Faza kembali menyelanya dengan tertawa ringan. Dia tidak akan pernah bisa menangis. Aku pastikan itu.
“Itu memang selalu terjadi Za,” bisikku sepelan mungkin, aku tahu benar jika ia tak akan bisa mendengarnya. Tidak, di bawah rintik-rintik hujan dan suara air kali yang mengalir begitu deras. Sekarang memang musim penghujan, maklumi saja karena sekarang berada di akhir November.
“Hujan Rinai, ahh..sesekali aku ingin melihat salju. Tapi pasti mustahil. Garis khatulistiwa memang tidak pernah bisa membantu. Kau tak ingin berteduh?” Aku tak menjawab.  Senang saja rasanya tetap duduk menunggui air hujan yang awalnya hanya berupa rintik, tiba-tiba berganti dengan lebatnya hujan. Beberapa laki-laki berbaju tambalan terlihat tengah membawa keranjang dan pengait sampah, mereka melewati kami begitu saja.
Tak ada yang menghiraukan dua orang bocah yang duduk nestapa di pinggiran kali kumuh ini. Tidak, walau salah satu di antaranya ada yang memiliki luka lebam di kepalanya.  Siapa yang peduli? Semua orang yang tinggal di sini sudah punya penderitaan dan masalah sendiri-sendiri di kepala mereka, untuk apa memperdulikan orang lain?
“Ayo kita ke Jepang,” Cetusnya tiba-tiba, terdengar begitu gila, tapi aku masih saja menanggapinya dengan menggelengkan kepala. Bukan karena tidak mau, tapi mustahil. Merasakan bangku sekolah sampai sekarang saja rasanya sudah keajaiban. Apa lagi untuk seorang Za. Hampir setiap hari Ia harus main kucing-kucingan dengan ayahnya. Ayah Faza memang tipe Orangtua yang lebih senang melihat anaknya mengais sampah ketimbang pergi ke sekolah.
“Ayo Rinai, ke Jepang.” Dia mengajakku ke Jepang seolah-olah tempat itu hanya berjarak beberapa gang dari sini. Aku masih tetap diam. Bukan karena aku tidak peduli. Tapi karena bingung dengan cara pikirnya.
“Pergi saja sendiri,” Kataku setelah beberapa saat kami saling terdiam. Magrib mulai menghampiri dan langit sudah begitu gelap dari biasanya.
“Aku tidak mau jika tidak bersama Rinai.” Jawabnya dengan nada begitu serius. Dan aku menganggap hal itu sebagai lelucon yang jelas-jelas tidak lucu. Tapi kelak, suatu hari nanti, aku akan menyesali karena telah menertawakannya. Penyesalan yang berujung panjang karena selalu menyepelekan dan menertawakan sebuah mimpi.
***
Salju? Di akhir musim dingin? Bukankah ramalan cuacanya mengatakan tidak akan turun salju lagi hari ini. Bahkan beberapa pohon sakura sudah terlihat mengeluarkan beberapa lembar daun dari ranting-ranting kecil bewarna cokelat itu. Salju-salju yang menebal di trotoar bahkan sudah jauh hari mencair. Ku raih gumpalan-gumpalan bewarna putih yang berjatuhan dari langit, menepuknya beberapa kali dengan kedua belah tangan lalu membiarkannya jatuh begit saja. Berapa suhu hari ini? Minus kah? Tentu saja. Pasti sudah di bawah angka dua puluh. Tunggu. Sepertinya aku sudah pernah melakukan hal ini, di tempat yang sama. Aku tersenyum sendiri memikirkan satu kalimat yang rasanya sudah lama sekali tak pernah ku dengar. Apa kau tahu dejavu?
***
“Mau belajar bersama tidak?” Tanya Faza sambil memilah sampah yang berada di depannya, dan dengan cepat Ia memasukkan sampah yang dianggap punya nilai rupiah ke dalam keranjang miliknya. Aku pun melakukan hal yang tak jauh berbeda, hanya saja keranjangku sudah hampir terisi penuh, mungkin sudah lebih lima kilo. Aku bisa langsung menjualnya ke tengkulak, tapi aku ingin menunggu Faza menyelesaikan bagiannya dulu. Aku kembali memperhatikan isi dalam keranjang milikku. Hanya beberapa ribu rupiah saja kira-kira, tapi pasti sudah cukup untuk membeli sekilo beras di warung.
“Boleh,” jawabku pendek. Benar juga, belajar bersama mungkin sebuah yang ide bagus. Ujian Nasional tingkat SMA memang sudah bisa dihitung dengan jari. Sebenarnya untuk orang bertipe seperti Faza, belajar mungkin hal yang tidak begitu dibutuhkan. Orang ini cukup mengingat apa saja yang diterangkan oleh guru, lalu membaca materi sekali lewat, berdoa kepada Tuhan, dan selanjutnya Ia akan mengingat semua pelajaran tadi sampai kapan pun. Mungkin inilah yang orang sering bilang sebagai kemampuan photography memory.
“Ada kabar bagus Rin, . .” Celetuknya dengan nada datar. Aku tidak bergeming,  dan masih sibuk dengan gunungan sampah yang ada di depan kami. Kabar bagus apa? Kabar terbagus yang pernah kami dapatkan paling hanya seputar harga sampah yang naik, memiliki uang penjualan sampah yang banyak dan nantinya cukup untuk kami belikan seporsi mie ayam selain beras. Tapi kasihan juga jika membiarkan Faza sendirian dengan efiora. Maka lebih baik aku mendengarnya saja.
“Apa? Mbak Lis akan menjual murah mie ayam miliknya?”
“Lebih bagus dari itu. Cerpenmu ada diurutan kedua,” jawabnya cepat dengan nada datar. Aku menghentikan gerak tangan. Cerpen, cerpen apa maksudnya?
“Aku mengirimkan tulisanmu yang waktu itu Rin, maaf. Aku melakukannya diam-diam. Habisnya gemas saja melihat kau sudah menulis sebanyak itu dan pada akhirnya tidak ada satu pun yang dikirim untuk perlombaan. Kan sayang, punya bakat sebagus itu disia-siakan begitu saja. Aku sudah mengira jika ada sesuatu yang bagus dengan tulisanmu. Dan tebak, ternyata tulisanmu menang Rin.” Ocehnya dengan nada begitu gembira. Ya Tuhan, lihatlah dia, lihatlah dia. Tiba-tiba tubuhku bergetar dan tanganku gemetar.
Aku memang tahu tentang lomba itu. Beberapa minggu terakhir Guru Bahasa Indonesia kami memberikan informasi mengenai perlombaan menulis cerita pendek, dan aku memang sudah selesai menulisnya. Sudah ingin ku kirimkan. Tapi aku tak punya uang untuk mengirimkan tulisan itu ke kantor pos. Belum lagi uang pendaftarannya. Maka ku urungkan saja niat itu. Dan sekarang, setelah aku sudah lupa dan membiarkan semuanya lewat begitu saja, laki-laki ini dengan entengnya mengatakan aku mendapatkan urutan kedua.
“Nanti kita ambil hadiahnya di kantor pos. Tadi Ibu Nina bilang kau harus mengambilnya sendiri. Tenang, aku akan berbohong pada ayah jika aku akan pergi memulung sampah di TPA kampung sebelah, jadi kita bisa pulang lebih lama. Kantor pos memang sedikit jauh dari sini, tak usah khawatir Rin, aku punya uang lebih untuk ongkos angkot pergi. Tapi pas pulang, kau yang bayari aku ya. Awas saja kalau tidak mau. Anggap saja itu untuk balas budi, ” ucapnya senang, tangannya masih saja memungut sampah-sampah yang berada di depannya.
Aku masih terdiam dan terus menatap Faza dengan perasaan yang sulit untuk diterjemahkan. Ada rasa sesak yang menggumpal di dalam dada dan perlahan air mataku keluar begitu saja. Aku sudah mendapatkan jawaban dari semua pertanyaanku tentang kenapa Faza begitu susah untuk diajak belajar bersama akhir-akhir ini.
Sehabis sekolah aku juga tak pernah menemukannya. Setelah bertanya dengan beberpa teman, aku selalu melihatnya di antara keramaian pasar. Aku tak tahu dia sedang apa, yang jelas, Faza sering terlihat tengah mengangkut berkarung-karung beras di sebuah toko grosiran. Malam harinya, aku masih melihat Dia memulung sampai larut malam. Dan ketika pagi, Ia seringkali datang terlambat dengan wajah babak belur seperti habis dipukuli. Ketika ditanya oleh guru, ia akan menjawabnya dengan enteng jika wajah babak belur itu didapatkan karena. Hanya aku yang tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ayah Faza pasti telah menghajarnya karena uang setoran yang dianggap kurang. Padahal Dia sudah bekerja dua kali lipat.
Semua uang yang Ia kumpulkan dari semua kerja keras itu ternyata hanya untuk mengirimkan tulisan itu. Dan sesaat aku tergugu, tak peduli lagi pada Faza yang sibuk membujukku untuk tidak menangis.
***
“Bukankah ini hal yang aneh Rinai san, seharusnya salju tidak pernah turun seminggu setelah musim dingin berakhir. Ini selalu terjadi berkali-kali sejak kedatanganmu di sini.” Komentar Fukuyama dengan mata bersinar. Fukuyama adalah salah seorang rekan kerjaku sebagai desain editor di salah satu perusahan design terkenal di Jepang. Kami sedang kebagian jam malam dan untuk menuntaskan rasa kantuk, kami meminum ocha dengan ditemani dessert rasa cokelat.
“Mungkin karena perubahan cuaca yang selalu ekstrim akhir-akhir ini,”gumamku pelan. Memang belakangan banyak sekali pemberitaan yang aneh mengenai cuaca. Salju di Mekah, badai api tornado di Australia, dan masih banyak lagi yang terjadi di belahan dunia sana.
Iie, watashi wa . .[1]laki-laki bermata sipit itu berhenti sebentar, menyesapi ocha perlahan dengan sepenuh hati. “Menurut keyakinan kami,, jika salju masih turun di saat musim dingin yang seharusnya sudah berakhir, itu merupakan sebuah pertanda jika orang yang berada di masa lalu sedang turun dan ingin menemui seseorang yang masih hidup,” sambungnya.
“Orang masa lalu?”
Gomenasai[2], mungkin kau tidak tahu dengan cerita itu. Orang masa lalu yang ku maksudkan adalah orang-orang yang sudah pergi dari dunia ini, shindeiru[3].”
***
“Faza, tanganmu berdarah..!” teriakku setengah panik. Faza hanya menggeleng pelan, tidak mengubrisnya dan dengan sepoyongan mengambil tempat untuk duduk di sebelahku laki-laki jangkung itu membuka buku pelajaran yang dia bawa sambil bersikap tidak peduli dengan kekhawatiranku. Aku menarik buku yang berada di depannya, Faza terlihat begitu tidak senang. Aku meraih kembali buku yang berada di tangannya. Sesaat, Faza seperti terlihat kehilangan kesadaran hanya sepersekian detik, laki-laki ini kembali terbangun. Air mataku jatuh begitu melihat Faza hanya tertawa kecil sambil memberi isyarat kepadaku untuk tidak mengkhawatirkannya. Aku segera pergi ke dalam rumah kardus milikku, mengambil segelas air dan merobek kain bersih.
“Tidak usah sepanik itu, wajah jelekmu malah semakin bertambah saja. Tersenyumlah, kau mau terlihat seperti nenek-nenek di usia dua puluh tahun?”
Masih saja bercanda, masih saja berpura-pura tidak sakit. Aku membalut tangan dan pelipisnya dengan kain. Tergesa-gesa. Tak ku pedulikan beberapa nasehat darinya yang terus keluar untuk menenangkanku untuk bersikap tidak panik.
“Untuk apa punya orangtua, seharusnya kau lari saja dari rumah. Kita bisa pergi jauh dari sini. Ayahmu selalu menghajarmu seperti ini, kenapa kau masih saja bisa tahan! Anjing dijalanan bahkan lebih terlihat baik ketimbang mereka, ” teriakku marah setengah terisak. Beberapa darah mulai merembes di antara kain yang ku lilitkan dikeningnya, tak peduli berapa kali aku melapisinya dengan kain yang baru, warna merah masih saja merembes di antara kain putih itu. Faza tiba-tiba saja menarik tangannya dengan kasar. Dia menatapku dengan wajah berang, terbatuk-batuk lalu menutupi mulutnya dengan tangan. Aku tak begitu melihatnya dengan jelas, tapi ada bercak-bercak darah yang keluar di sela-sela jarinya.
“Tarik kembali ucapanmu Rinai.”
“Tidak, itu benar. Orangtuamu hanya memperburuk keadaan..” Plaak... tiba-tiba pipiku terasanya panas. Untuk beberapa saat aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi.
“Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi Kau salah. Justru kau yang harusnya mengasihani dirimu sendiri. Kau yang salah. Orangtuaku tak pernah membawa masalah apa pun. Mereka tak pernah memperburuk apa pun. Seburuk apa pun perlakuan ayah, aku tetap menghormatinya. Aku tidak pernah menyalahkan Ayah, ini semua pasti karena keadaan yang tidak tepat. Kau yang seharusnya mengasihi hidupmu sendiri, hidup tanpa kasih sayang seorang Ibu, ba..bagaimana perasaanmu hah..?” Teriaknya kencang, gelagapan. Wajah Faza kebas, memerah seperti kepiting rebus. Tapi dia masih belum menangis. Faza tidak akan pernah menangis.
“Ibuku memang sakit, lumpuh. Tapi aku tahu jika ibu begitu menyayangiku. Tak peduli berapa kali ayah memukulku, ibu selalu melindungiku. Memelukku. Apa yang kau tahu tentang Ayah? Dia, selalu berusaha untuk kami. Setiap malam dia selalu mengais sampah dan diam-diam membelinya untuk obat ibu. Aku tahu itu, aku tahu..” Sambungnya terisak lalu terduduk begitu saja.
“Ayah hanya kecewa dengan semua keadaan sialan ini, bukan salah kedua orangtuaku Rinai. Dia hanya kecewa. ”Desisnya setengah putus asa. Hujan kembali menyambangi kami sore ini. Sayangnya bukan salju.
***
Beberapa bulan telah berlalu, dan pertengkaran kami waktu itu sudah lama sekali terlupakan. Faza memang selalu melupakan sesuatu yang menyedihkan dengan cepat. Tak ada yang berubah, Faza tetap selalu datang dengan keadaan babak belur. Aku juga tidak pernah lagi mengukit apa pun tentang ayahnya. Ujian nasional sudah selesai dan ussaha belajar rutin yang kami laksanakan setiap hari ternyata membuah manisnya. Faza lulus dengan nilai sempurna. Aku memang sudah memperhitungkan hal itu akan terjadi. Sedang untuk bagianku, aku sudah cukup berpuas hati berada di peringkat sepuluh tertinggi di sekolah.
Aku tak tahu akan melanjutkan kemana sehabis SMA. Memang ada tawaran menulis di beberapa majalah, semenjak perlombaaan lalu. Tapi tidak mungkin ku terima tawaran itu. waktu selalu aku habiskan untuk mencari sampah, atau bekerja serabutan di toko kelontong Mpok Imah. Ku dengar, ijazah SMA bisa dibawa untuk melamar ke pabrik. Aku mungkin bisa mencobanya
“Rin. Nih baca!” Sebuah kertas,  terlihat tanpa dosa begitu saja di hadapanku.
“Jangan menganggu, kau lihat harga plastik perkilonya sudah naik. Uangnya akan ku gunakan untuk melamar pekerjaan di Jakarta,” aku masih tidak peduli dengan kertas yang Faza lemparkan tadi. Kertas itu hampir saja terkubur oleh sebagian sampah yang ku kais.
“Baca dulu Rin, ayolah,” Desaknya. Jika begini Faza sudah mengambil tindakkan mendesak, maka keputusan yang bijak adalah aku harus menuruti permintaan Faza, jika tidak, Ia akan menganggumu terus menerus. Dengan setengah hati ku baca kertas yang hampir basah oleh lumpur yang menyangkut di sampah. Sepertinya surat resmi, karena ada kop pembuka awal di atasnya, ucapan kata selamat, di sana tertulis Universitas Imperial Kyoto, Fakultas Humaniora. Aku tahu maksud isi surat ini, tapi yang tidak aku mengerti adalah, kapan dia melakukannnya?
“Kejutan! beasiswa penuh ke Jepang, kita lulus tes berkas. Jangan bertanya. Kau hanya tinggal mengikuti tes wawancara saja. Kita pasti bisa melakukannya. Tinggal selangkah lagi. ”Teriak Faza girang, membentuk jarinya dengan gaya victori. “Aku juga Rin, lihatlah!” Faza sibuk pontang panting mencari sesuatu di saku celananya, lalu menunjukkan  sebuah kertas yang sama. “Aku mengambil jurusan Farmasi. Kau tahu Rin? Aku akan mempelajari obat-obatan untuk kelumpuhan, dan nanti akan ku bawa pulang untuk mengobati ibu,” ciloteh Faza dengan nada girang. Aku tertawa lepas, benar-benar tertawa. Perlahan di sela tawa itu, ku rasa ada bulir-bulir hangat yang keluar dari kedua air mataku. Terimakasih Tuhan.
***
“Apa ini jalan yang benar?” Tanyaku sambi menyusuri rel kereta api. Pagi-pagi sekali kami sudah menjejeri rel kereta api untuk pergi ke tempat wawancaran. Seharusnya kami bisa saja menaiki angkot, tapi karena uang Faza baru saja habis untuk membelikan obat-obatan untuk ibunya maka kami harus bersenang hati menghemat uang dengan berjalan kaki. Sebenarnya aku sudah berniat untuk meminjami Faza uang, tapi laki-laki yang selalu tersenyum setiap hari ini bersikeras untuk tidak menerimanya.
“Loh kertas undangannya dimana ya Rin?”
“Hah? Mungkin terjatuh di suatu tempat. Jangan bilang kau lupa membawanya.” Kita sudah sejauh ini. Untuk berbalik kembali ke rumah rasanya benar-benar menghabiskan energi.
“Tidak, beberapa menit lalu aku baru saja memegangnya. Ah, di sana,” tunjuknya ke arah kertas yang tergeletak begitu saja di tengah-tengah rel kereta api, sekitar seratus meter dari kami. Faza berlari mendekati tempat itu, entah kenapa aku merasa berat membiarkan Faza pergi. “Biarkan saja,” aku berusaha menahannya tapi bibirku tercekat ketika melihat sesuatu yang mendekat sekitar lima ratus meter dari sini. Itu Kereta. Faza tidak melihatnya karena menghadap ke arahku, laki-laki itu sudah mendapatkan kertas dan melambaikan kertas sambil tersenyum senang. Aku beteriak mengingatkan tapi Faza seakan tidak mendengarkanku. Dia terlihat bingung dan ragu ketika kami saling bersitatap.
“Rin, masih ingat tentang Dejavu?” sepersekian detik sebelum kereta itu begitu dekat dengan kami, aku seperti mendengar Faza berteriak memanggil namaku. “Sepertinya ini sudah terjadi Rinai,”Bisik Faza pelan, dan untuk pertama kalinya, seumur hidupku, aku melihat laki-laki itu menangis. Tersenyum, lalu bergumam seperti mengeluarkan kata maaf. Selanjutnya aku hanya melihat darah yang berhamburan disusul dengan beberapa teriakan dari orang-orang yang telah merubungi kami. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Hanya gelap.
***
“Sudah mulai malam, sangkyu[4] untuk hari ini,”
Salju masih saja turun dengan deras. Persis seperti hujan, hanya saja bedanya kali ini yang jatuh bukan air, tapi butiran lembut bewarna putih. Hujan Rinai, ahh..sesekali aku ingin melihat salju. Tapi pasti mustahil. Garis khatulistiwa memang tidak membantu. Tapi sekarang aku sedang tidak berada di garis khatulistiwa.
Aku memilih jalan yang sedikit jauh dari jalan yang biasanya. Entah kenapa hari ini aku rasanya ingin sedikit berlama-lama di jalan. Setahuku ada taman di atas bukit di dekat sini. Kebetulan ada Festival Geikousai[5]. Biasanya festival ini hanya berada di Gunung Takao, tapi sekarang tempat tinggalku, Akarigaoka, salah satu kota kecil di kota Kyoto juga melaksanakan festival tersebut. Pantas saja sudah hampir tengah malam, tapi masih begitu ramai orang-orang di jalanan. Aku baru ingat ada festival ini ketika Takuya San mengajakku pergi. Aku memang berniat untuk pergi, tapi tidak ingin bersama seseorang. Ada sesuatu yang harus ku selesaikan malam ini.
Akhirnya sampai juga. Hampir setengah jam aku berjalan. Benar-benar ramai. Hampir semua gadi mengenakan baju kimono dengan beragam warna. Lampu-lampu yang menyerupai lampion menerangi area festival. Orang di sekitar sini menyebutnya dengan kasuga touroh. Sesekali terdengar bunyi gendang khas Jepang melantunkan irama mistis. Mungkin itu semacam doa untuk suatu ritual. Ku dengar lonceng  joya no kane berdentang beberapa kali. Orang-orang kebanyakan membawa nampan besi yang berisikan api dan membawanya ke arah kuil.
Aku sengaja memilih tempat yang sedikit sepi dari keramaian. Salju masih tetap seperti turun seperti biasa. Padahal besok musim dingin sudah seharusnya berakhir. “Hei,” tiba-tiba aku bergumam pelan, berbicara sendiri. Tapi aku tahu, sebenarnya sejak hari itu, hingga sekarang ini aku tak pernah sendirian.
 “Terima kasih untuk semua yang telah Kau lakukan, Za. Kau pasti sudah sangat lelah mengikuti sejauh ini. Tapi sudah cukup.” Aku berhenti sejenak mengatur nafas mencoba untuk tetap tersenyum walau sebenarnya ada perasaan sakit sekali di dalam hati. Air mata yang sudah lama tak pernah datang, tanpa diundang jatuh begitu saja di sela-sela keheningan ini. Sesaat aku mendengar sebuah keriuhan dari arah kerumunan orang-orang yang mengikuti festival. Ternyata angin bertiup cukup kencang dan spontan angin tersebut mematikan nampan api yang mereka bawa. Salju tiba-tiba turun bertambah deras dari sebelumnnya.
“Jangan begitu, “ aku menggeleng keras-keras sambil tertawa riang. “ Jangan marah padaku, oh iya. Kau tahu? Ibumu sudah pergi dengan tenang. Aku tahu dia sudah berbahagia di suatu tempat di atas sana. Kenapa kau tidak menyusulnya. Kau pasti rindu bukan? Jangan khawatirkan tentang Ayahmu, sebelum dia menyusul Ibumu, aku sudah merawatnya dengan baik. Dia sudah menjadi orang baik sebelum kau pergi. Kau benar, Ayahmu orang baik, dia selalu menangis dan menyebut namamu. Dia merindukanmu Za. . .” angin tiba-tiba mulai melembut. Salju yang tadi begitu derasnya turun seperti hujan, perlahan mulai berkurang. Aku lalu berbisik “Seperti aku yang juga merindukanmu.” Aku menyeka kuat-kuat air mata yang terus merembes tanpa mau berhenti.
“Jangan terlalu merasa bersalah karena membiarkanku sendirian, aku sudah terbiasa tanpamu sekarang. Kau lihat? Bahkan aku sudah tidak sependiam dulu ketika kau ada. Kau pasti sudah melihat salju. Bukankah itu Indah Za? Tapi Ternyata matahari yang bersinar dengan hangatn jauh lebih indah ketimbang butiran salju yang terasa begitu dingin. Terima kasih sudah menjagaku selama ini. Beristirahatlah dengan tenang.” Kataku dengan bibir yang terasa berat. Air mata yang tak dapat dibendung lagi di kalimat terakhir. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang melewati sela-sela rambutku. Seperti ada yang memelukku dengan lembut, lalu berlalu begitu saja seperti angin.
Perlahan salju mulai menghilang begitu saja. Aku memejamkan kedua mata lalu merasakan hangatnya matahari yang perlahan mulai mucul dari arah barat. Masih ku dengar suara riang dari sosok laki-laki yang selama ini selalu aku rindukan keberadaanya. Sudah belasan tahun berlalu, tapi ajakan itu masih begitu jelas tergiang diingatanku.  Ayo Rinai, ke Jepang. Aku tersenyum sambil terus menangis. Kita sudah di Jepang Faza.










Tentang Penulis

Penulis adalah seorang mahasiswa semester empat yang tengah di Universitas Islam Negeri Jakarta. Selain bermimpi ingin menjadi seorang wartawan dan penulis, gadis yang akrab dipanggil Ai ini begitu menyukai dunia kepenulisan. Karenanya Dia menjatuhkan pilihannya kepada jurusan jurnalistik.
Lahir di Jakarta pada 8 Juli 1996 di Jakarta. Menjalani pendidikan di SDN 20 Kayu Manang, Pariaman, MTsn Model Padusunan Pariaman, dan MAN Padusunan Pariaman. Motto hidupnya adalah menulislah, maka kau akan ditulis dalam sejarah.
Selain membaca dan menulis, anak pertama dari berlima saudara ini juga mempunyai hobi lain seperti hunting dan traveling. Saat ini aktivitas tetap dari Penulis adalah menjadi salah seorang anggota aktif pers mahasiwa, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut dan berdomisili di, Kompleks Cempaka Hijau, Blok 12, Jl.WR. Supratman, Kampung Utan Ciputat Timur, Tanggerang Selatan. Penulis bisa dihubungi dengan no handphone 083182292561 atau alamat email aisyah_nursyamsi@yahoo.com.


[1] Tidak, saya merasa apa yang terjadi..
[2] Maaf
[3] Meninggal
[4] Terimakasih (Sama dengan pengucapan arigato)
[5] Festival matahari terbit pertama.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tips Khatam Al-Quran Saat Ramadhan Bagi Perempuan

Foto: Google Bulan suci Ramadhan menjadi momen terbaik bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia untuk meningkatkan intensitas dan kualitas ibadah. Setiap orang berlomba-lomba berbuat kebaikan demi mengejar ridho dan pahala yang dilipatgandakan oleh Allah SWT. Pelbagai jenis ibadah dilakukan, salah satunya membaca Al-Quran. Membaca Al-Quran   menjadi salah satu ibadah favorit yang kerap dilakukan saat bulan Ramadhan. Selain sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Allah, saat membaca satu huruf dalam Al-Quran maka akan dinilai dengan satu kebaikan pula dan dikalikan sepuluh. Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu bersabda: “Barang siapa yang membaca satu huruf di dalam kitab Allah (Al-Quran) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan dengan sepuluh (pahala). Aku tidak mengataman Alif Laam Mim adalah satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Mim satu huruf. (HR. Tirmidzi) Karena itulah, banyak yang berkeinginan untuk ...

Last Wekkend (Bag.1)

Aku, Hanyo, dan Pohon Sakura Add caption Sudah lewat tengah malam, dan aku masih terjaga. Jenis manusia macam apalah aku ini. Bahkan sudah beberapa butir obat tidur yang ku telan, tapi belum ada tanda-tanda bahwa aku akan segera tidur. Insomnia yang rasanya semakin parah saja. Sejak kapan ya? Sebelum ini rasanya baik-baik saja. Bahkan sebelum Isa datang, mataku rasanya terlalu berat untuk dibuka. Apa yang aku pikirkan? “Kita jelas-jelas tidak cocok,” kalimat yang masih tergurat rapi di ingatan. Aku tersenyum gila, sembari menatap kaca. Tidak cocok katanya? “Lah, kenapa? kita sama-sama suka Harry Potter, melihat senja di pantai, melakukan sesuatu yang asik di luar, menulis puisi, dan ada beberapa buku yang...” “Apa kamu tidak mengerti juga? kita tidak akan pernah cocok untuk lebih, menjadi sahabat adalah pilihan terbaik,” lanjutnya lagi, meninggalkan beberapa guratan wajah tanpa ekspresi lal meninggalkanku begitu saja bersama bias-bias magenta yang hampir menghilang...

Perundungan (Bullying)

Foto: Gaya Tempo (Tempo.co) Perundungan berasal dari kata rundung yang berarti menganggu, mengusik, atau yang lebih dikenal dengan istilah bullying.     Kasus Pertama Belasan tahun silam seorang siswi bertubuh bongsor harus jatuh terpelanting di depan kelas karena kakinya dijegal olah salah seorang siswa. Tidak ada yang membantu, sebagian siswa lainnya yang berada di dalam kelas justru tertawa cekikikan. Sisanya hanya menatap dengan wajah bingung, tidak tahu ingin melakukan apa. Jika membantu, kemungkinan besar kemalangan akan berpindah pada mereka karena siswa yang menjegal kaki siswi, sebut saja Vipin,   paling ditakuti di kelas. Pil pahit Vipin masih terus berlanjut. Siswa itu, sebut saja Narto masih gemar mencari ‘hiburan’ dengan membututi Vipin. “Vipin cendang, Vipin Cendang! Dasar bo*oh, Id*ot! ” berkali-kali Narto yang sudah dua kali tinggal kelas itu meneriakkan kalimat yang sama berkali-kali. ...