Lusa
lalu aku masihlah diriku
Tak
ada yang berubah ketika orang mengatakan masih kepala satu
Tapi
bagaimana jika jadi dua?
8
Juli lalu, genap sudah umurku dua puluh tahun. Tidak ada perayaan istimewa.
Meriah pun tidak. Sejujurnya aku juga tidak punya keinginan seujung kuku pun
untuk menuruti perkembangan zaman dengan merayakan usia yang bukan bertambah
namun berkurang setahun ini, lagi.
Sebelumnya,
8 Juli memang selalu berada di pertengahan bulan Rhamadan atau ketika semua
kegiatan pendidikan diliburkan. Sedih memang, karena tak sempat mendapatkan
kejutan dari teman-teman ketika hari ‘jadi’ menghampiri. Aku sih bukanlah tipe
orang yang suka berterus-terang dan dengan berani mengatakan ‘Ayo lemparkan
tepung dan telur kepadaku’, tapi sejujurnya terkadang aku sebenarnya menginginkan
kekacauan kecil itu juga terjadi kepadaku.
Iri
saja. Ketika masih di sekolah dasar, beberapa teman sering mengundangku untuk
pergi ke perayaan ulang tahun mereka. Aku memang tak menuntut banyak, namun
entah kenapa ketika masih sekecil itu, aku sudah bisa berpikir jika perayaan
seperti itu hanyalah seremonial biasa. Suatu tindakan dari orang tua untuk
menyenangkan hati anak-anak mereka. Saat itu Aku masih belum bisa berpikir
kesenangan apa yang didapatkan jika jadi mereka, teman-temanku yang tengah
berulangtahun.
Biasa
saja, ruangan yang diisi dengan balon-balon bewarna cerah (Karena memang tak
pernahku lihat ada balon bewarna hitam atau pun abu-abu di setiap perayaan
ulang tahun). Meniup lilin sampai pipimu menggelembung, lalu bertepuk tangan.
Penutupannnya jangan lupa, temanku yang sedang berulangtahun tadi akan memotong
kue lalu memberikannya kepada orang yang paling mereka kasihi. Orang tua
mungkin, atau gebetan yang tentunya dirahasiakan.
Tahun-tahun
pun berlalu, aku pun tak lagi harus tetap memakai rok lipitan berwarna merah
darah lagi tentunya. Gantinya, aku sudah harus terbiasa dengan rok panjang
berwarna biru, plus ongkos kendaraan yang sebelumnya belum pernah kudapatkan.
Tidak hanya tinggi badan dan pakaian saja yang berganti posisinya. Postur badan
pun ikut bertambah, pelajaran-pelajaran yang rumit sedikit banyak mulai
berdatangan, dan pastinya, umurku pun kembali berganti angka.
Tidak
banyak teman dekat yang ku dapat karena sifat pendiamku ini. Beberapa waktu, pernahku
pikirkan kapan pertama kali begitu pendiamnya aku. Mulai jarang bertanya
tentang hal baru lagi seperti dulu, dan bersifat masa bodoh pada hal-hal kecil
yang terjadi. Padahal dahulu, aku bukanlah orang seperti itu. Beberapa
pemakluman sering muncul, mungkin bawaan pubertas karena usia yang sudah
belasan. Tapi sayang, seharusnya dulu
aku tidak harus memakluminya, namun membunuh kebiasaan mendiamkan dan berdiam.
Awal-awal
tahun di sekolah menengah pertama, belum dijumpai apa pun yang menarik ketika
berada di tanggal delapan. Sesekali temanku bercerita dengan penuh semangat
kejutan apa yang sering mereka dapatkan ketika
berada di hari jadi mereka. Terdengar begitu menyenangkan, ada kue-kue
yang berterbangan, telur-telur yang berserakkan dan tepung-tepung yang
berhamburan. “Bayangin, gue harus merendam baju sampai seminggu, itu pun masih
ada bau telur-telur yang busuk,” katanya. Walaupun terdengar seperti bentuk
penyiksaan, tapi aku tahu hal ini pasti menyenangkan.
Sesekali
pernah secara langsung aku melihat ritual lazim melempar telur oleh teman yang
beda kelas denganku. Mereka melakukannnya di sekitar sekolah, pantai, bahkan
Lapangan Merdeka yang terletak di tengah Pasar Pariaman. Asyik benar kulihat
wajah-wajah gembira itu. Walaupun yang si ulangtahun terlihat begitu menderita
diceploki oleh telur-telur dan tepung, dia tetap tidak mengeluarkan ekspresi
seperti korban.
Di
situ, rasa penasaran mulai muncul. Namun sayangnya aku pun tak kunjung
merasakan hal yang sama dengan teman-temanku itu. Bahkan sekolah menengah
pertama genap satu tahun. Tapi dari tiga
kali tanggal delapan juli yang aku hadapi selama tiga tahun di sana, ada satu
kali yang sedikit istimewa bagiku. Kado pertama, dari orang yang spesial pula.
Ingat betul aku isinya apa. Sebuah novel yang sekarang cukup dikenal dari dulu
sampai sekarang. Bisa dibilang, jika novel tersebut punya kenangan tersendiri
dan jadi yang pertama di rak buku kami.
Menjelang
kelulusan, banyak pergolakkan yang terjadi. Permasalahan yang sedikit demi
sedikit memupuk aku menjadi pribadi yang dewasa. Walau sekali-sekali sering
terjadi pula masalah sepele yang didukung oleh pubertas. Percintaan misalnya.
Kalau dipikir sedikit kekanak-kanakan juga waktu itu.
Setelah
mengalami berbagai pertimbangan, maka sampailah aku pada Madrasah Aliyah
Negeri. Awalnya sungguh tidak ikhlas ketika menjejakkan kaki di sana, bahkan di
awal perkenalan sudah ada pengalaman buruk yang memberikan kesan mengesalkan.
Tapi lupakanlah, karena banyak hal yang menyenangkan yang terjadi di sana. Benar-benar
bewarna seperti pelangi.
Be
Contiuned . . .

Comments
Post a Comment