Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Pramoedya
Ananta Noer
Sebagian
orang mungkin kenal dengan kalimat ini. Ringan saja, karena tidak ada konflik
di dalamnya. Hanya sebuah ajakan kecil untuk menulis, namun akan ada hasil yang
besar dari tawaran tersebut, yaitu keabadian. Kalimat ini dibuat dengan rasa
sedemikian rupa oleh Pramoedya Ananta Noer. Seorang Sastrawan yang pernah hidup di tiga
zaman, maestro pengatur aksara dan begitu lihai dalam menuliskan tatanan
bahasa.
Akan
butuh lama untuk menjelaskan riwayat sang tokoh. Tapi dalam tulisan ini aku tidak
akan menuliskan riwayat tentang beliau. Tidak juga tentang siapa pun, melainkan
diriku sendiri sebagai seorang penulis amatir, tapi akan terus belajar untuk menjadi seorang
penulis.
Marilah
berselancar pada lahirnya mimpi seorang anak desa yang tinggal di Sumatera
bagian tengah sana. Kau tahu, sebagai perantau kami sering memanggil daerah itu
dengan sebutan Minangkabau. Daerah yang diberikan lebih oleh Allah karena
setiap orang yang singgah bisa melihat dua keindahan alam sekaligus, Samudera
Hindia dan barisan pegunungan sumatera.
Entah
sejak kapan membaca menjadi salah satu hobi yang paling menarik untuk dilayani.
Buku-buku selalu terlihat menarik bagiku bahkan ketika masih di jenjang sekolah
dasar kelas satu. Berawal dari Majalah Bobo, sampai Muslimah hingga novel,
semua ku lahap dengan sempurna. Mungkin dari hobi membaca selain memunculkan
hobi baru yaitu menulis, bisa jadi membaca juga menjadi salah satu motivasiku
untuk menimba ilmu setinggi mungkin.
Terlahir
sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Belum lagi ekonomi keluarga yang
bisa dikatakan kurang dari kata berlebih, namun allhamdulillah masih tercukupi untuk kehidupan sehari-hari, tak
langsung begitu saja meredupkan tujuan untuk meraih mimpi.
Ketika
teman-teman yang berusia sepantaran denganku tengah memikirkan baju seperti apa
yang pantas dipakai ketika lebaran tiba, aku justru sudah mulai menyusun
rencana kasar untuk mengambil kuliah di luar Sumatera. Waktu itu aku masih
mengenakan rok biru pekat, yang dibeli dari hasil keringat ayah berjualan ikan
dari pagi hingga petang. Beberapa teman sempat tertawa lucu karena aku pernah
bercerita padanya ingin menjadi seorang penulis. Tak jarang ada yang menganggap
penulis bukanlah pekerjaan dan menyarankanku untuk tidak terlalu serius memikirkan
masa depan. Kita masih di MTsN, Syah. Begitu yang teman-teman katakan kepadaku.
Tadinya
aku ingin melanjutkan ke sekolah menengah atas yang berbasis umum. Tapi Allah
ternyata punya rencana lain. Jadilah aku di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Padusunan Pariaman. Berawal dari beratnya hati melanjutkan pendidikan
berlandaskan agama, perlahan waktu mulai mengikis rasa ketidak ikhlasan tadi
dengan banyaknya kemudahan yang selalu diberikan oleh Allah selama aku berada
di sana. Salah satunya adalah, aku tak pernah membiayai sekolah karena selalu
mendapatkan beasiswa. Sekali lagi, kau harus percaya jika memang Allah tidak
akan selalu memberikan apa yang kita inginkan, tapi Allah selalu tahu apa yang
terbaik untuk hambanya.
Aku
ingin kuliah, begitulah kalimat pendek yang sering aku lontarkan kepada setiap
orang yang bertanya, lulus sekolah ingin melakukan apa? Banyak tetangga yang
mencibir dengan nada mengejek, anak seorang pencari pasir di kali ingin
berkuliah? Bisa makan apa kalian sekeluarga Beberapa di antaranya bahkan ada
yang menakar jika ayah hanya mampu membiayaiku satu tahun saja.
Tapi
ayah bukanlah orang biasa dan mudah pantang menyerah. Di bilang seperti itu
oleh orang-orang di sekitar kami, Ayah malah tertawa ringan dan semakin giat
bekerja. Ayahku memang tak pernah
kehabisan akal dan selalu mendorongku untuk tidak takut mengambil resiko. Tak
banyak hal yang sering kami perbincangkan bersama ketika bertatap wajah, watak
tegas, selalu tergambar dari raut wajah ayah yang telah terpahat bertahun-tahun
oleh kerasnya kehidupan.
Tapi
dari sikap tegasnya aku tahu ayah selalu tersenyum lembut ketika kami semua
tertidur lelap. Kasak kusuk memikirkan cara agar bagaimana kami keluarganya
bisa hidup dengan layak. Mengasah imajinasi agar putra dan putrinya bisa mengenyam
pendidikan hingga sarjana dan menjadi orang yang berguna. Sering terlihat
keras, namun kami tahu betapa lembutnya laki-laki berumur paruh baya ini.
Lalu
bagaimana dengan Ibu? Ibu adalah wanita hebat yang selalu tersenyum menyambutku
ketika pulang. Ketika ku katakan ingin berkuliah sehabis lulus di Madrasah
Aliyah ini, beliau tersenyum lembut sambil berkata “Jadilah pengganti Umi dan
Buya yang tak pernah mencicipi bangku perkuliahan ini.” Dan ke depan, aku mulai
menyadari jika dari silsilah keluarga ini, akulah yang pertama mencicipi bangku
perkuliahan baik itu dari keluarga pihak ibu maupun ayah.
Aku
mencoba pelbagai jalur untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri. Gagal di SNMPTN
tidak langsung membuatku menyerah menunggu hasil pengumuman dari jalur lain,
SNMPT-KAIN. Allhamdulillah, aku berhasil menjadi mahasiswa undangan di
Universitas Islam negeri (UIN) Jakarta, tak terbilang rasa senangnya. Tapi
ketika akan mempersiapkan semuanya, kami ditimpa musibah. Usaha ayah dan kawan-kawannya para pencari pasir di
sungai diblokir Pemerintah Pariaman, mesin-mesin pun dibawa oleh SATPOL-PP. Mereka
beralasan jika kegiatan yang dilakukan oleh ayah menyebabkan pencemaran sungai.
Padahal
itu tidak benar, aku tahu betul jika ayah tidak menggunakan bahan-bahan
berbahaya yang menyebabkan terjadinya pencemaran. Bahkan semenjak adanya usaha
pengambilan pasir di sungai, desa kami jarang terkena banjir. Karena
pengerukkan pasir, membuat sungai yang awalnya dangkal, menjadi dalam kembali.
Kegembiraan
yang sempat membuncah mulai terkikis karena hilangnya mata pencarian Ayah. Aku
sempat terpuruk memikirkan biaya kuliah. Tapi seperti yang pernahku bilang,
ayah tak pernah menyerah. Ayah membongkar semua tabungan yang beliau punya
hingga meminjam uang pada sanak saudara untuk biaya keberangkatan ke Jakarta
untuk mendaftar ulang. Suatu hari, ayah membawa polibek, berkantong-kantong
biji pepaya, dan segerobak tanah. Tanpa banyak bicara, Ayah menyuruh kami
mengisi polibek itu dengan tanah dan menanam bibit pepaya. Katanya, ini adalah
usaha baru kita.
Berkat
kemudahan yang Allah berikan, juga
dorongan dari kedua orang tua, aku berhasil berangkat ke Jakarta dan
melanjutkan kuliah. Setibanya di sana, aku langsung mencari-cari informasi
tentang beasiswa. Awalnya aku mengincar Bidikmisi namuntidak memiliki
kesempatan karena pendaftaran yang sudah tutup. Aku sempat menceritakan
kekecewaan karena terlambat mencari informasi beasiswa. Pada Ayah dan Ibu aku berbicara
dari balik telepon sembari menangis.
Aku
belum bisa membantu mengurangi biaya kuliah dan jelas, ada empat orang adik
yang tengah bersekolah, Ayah harus banting tulang untuk kami semua. Namun Ayah
dengan lembut berkata kepadaku “ Alun razaki nak,, jan lo manangih anak buya. Beko manihnyo ilang. Barusaho taruih, jan
manyarah, sholat jan pernah tingga. Doakan Buya di kampuan supayo razakinyo
lancar. (Belum rezeki, nak. Jangan menangis, nanti manisnya hilang lo.
Berusaha terus, dan jangan pernah menyerah, doakan saja buya di kampung agar
rezekinya tetap jalan).”
Hingga
ketika aku mulai menutup harapan akan mendapatkan beasiswa di tahun
pertama, ada seorang teman yang mengenalkan
Beastudi Etos kepadaku. Awalnya aku tidak begitu memperhitungkan hasil karena
dalam pengumuman yang tertulis, hanya sepuluh orang yang terpilih. Namun Allah
berkata lain, aku lulus setelah melewati seleksi berkas dan wawancara.
Mungkin
dari segi ekonomi, kami belum dapat dikatakan berlebih. Usaha ayah yang masih
sebagai pencari pasir sungai, dan ibu yang tetap menjadi seorang ibu rumah
tangga dari lima anak, masih mengajak kami untuk membangun cita-cita. Mereka
tetap mengajarkan kepada kami untuk selalu bermimpi, tak peduli seberapa berat
beban yang mereka pegang, Allah selalu membersamai kita. Begitu yang Ayah dan
Ibu selalu katakan.
“
Aisyah, kalau ingin jadi wartawan, penulis, atau apalah, buya selalu mendukung. Yang terpenting jangan
terlalu mencari hasil yang sempurna, proseslah yang terpenting. Semua orang
sukses awalnya hidup dalam keterbatasan, tapi mereka tidak menggerutu. Dari
keterbatasan lah mereka ditempa menjadi orang-orang yang hebat.”
Aku
mengangguk pelan. “ Berdoa, usaha terus jangan menyerah, setelah itu ikhlas
dengan hasil apa yang diberikan Allah. Dan satu lagi, shalat jangan
ditinggalkan,” Begitulah pesan yang selalu Ayah katakan padaku dimana pun dan
kapan pun itu ketika rasa malas dan kecewa sering melanda dalam setiap usaha.
Maka
ketika ada orang yang bertanya kepadaku siapa orang yang teramat berharga dan kau
cintai, aku akan menjawab “Orang itu bernama Ayah dan Ibu.”
Comments
Post a Comment