Sumber foto : fuji-veong.blogspot.com |
Sajak
Elegi
Sembari
menunggu awan yang selalu menggantung, entah itu warna hitam yang bisa saja
kelak dapat berganti lagi menjadi warna biru, atau mungkin ketika bosan, Tuhan
berkeinginan menggantinya lagi ke warna merah dan merefleksikan menjadi warna kuning,
Tiada yang tahu apa yang tengah terjadi kecuali hari ini. Ada aku sedang
tertawa kecil, lirih.
Benar,
bukan terjadi kembali kepada diri saya atau kepada mereka si keluarga.
Tapi
untuknya
saja memang, yang tengah berkutat dan tak punya sebuah bandul untuk digantung
pada tali besi yang biasanya telah diukur rapi, maka akan ku katakan jika kita
‘pernah sama’.
Memang
lucu si daging merah yang terletak di tengah dada. Tak ada yang pernah berharap
jika benda kecil itu akan luka. Namun keadaan, ternyata sering saja membelahnya
menjadi dua. Ah, memang kejam ya, keadaan itu. Tahu bagaimana rasanya? Tak
perlulah Kau bahaskan soal rasa yang entah kapan bisa diukur itu.
Pernah
satu dua aku bertanya.
Tuhan
kenapa harus kau ciptakan daging kecil yang berlepotan darah tadi. Tak pernah
ku jumpai apa gunanya. Kerusuhan saja yang dia buatkan. Dalam gelap yang
seringkali datang meremang, pernah sesekali aku bertanya dengan kurangajar. Sengajakah
Tuhan itu?
Ada
yang bilang penciptaan manusia adalah untuk Dia yang Maha Esa, adanya masalah
agar manusia hidup di kehidupan yang tak biasa. Bosan manusia, jika tak punya
apa pun yang mengganjal selama umur yang diberikan Tuhan.
Tuhan,
Tak bermaksud aku untuk ingkar. Sungguh. Ketetapanmu adalah apa yang membuatku
terus bediri dengan payah di muka bumi ini. Tapi tak pernah ku jumpai sesuatu
yang menarik. Bagiku masalah adalah kebosanan yang diberi umur panjang.
Aku
berharap
semua kematian menghampiri mereka. Atau aku saja yang mati? Kebosanan yang
begitu begitu saja. Kau dinaikkaan lalu bahagia, dijatuhkan sedemikian rupa
karena di jatuhkan. Lantas tidak ada yang bisa menjawab ketika si daging
bertanya untuk apa sebuah keberadaan. Terkadang aku juga ingin punya kebodohan
yang sama seperti layaknya manusia. Tak pernah berpikir tentang apa dan untuk
apa, mengapa dan berapa, dan kenapa lantas menyapa.
Rasanya,
bahagia betul orang yang tidak pernah bertanya dalam diam. Polos benar,
begitulah yang sebenarnya yang dicari Tuhan. Mereka selalu bersungguh-sunggu
merebut ‘sesuatu’ tapi tak pernah mencoba untuk mencari eksitensi dari
keberadaan itu.
Kau si Teman yang
tampaknya tak lagi memperdulikan hati, apakah kita sama, atau Kau hanya sebuah
Delusi. Kekosongan yang tak pernah bisa ditambal, apa sebuah kesalahan besar,
jika hanya berpura-pura jika sesuatu telah diisi.
Lalu kenapa harus sejauh
ini? Apakah hanya si bodoh yang sering mempertanyakan sebuah eksitensi? Atau
ekstiensi itu sendiri yang bodoh karena selalu dipertanyakan. Kau akan lihat
betapa sulitnya si daging merah tengah berkelumit berdarah. Mereka tak pernah
ingin kompromi dengan cara yang murahan.
Tuhan
tengah melakukan konspirasi. Atau memang aku yang kembali berdelusi. Sekian
lama aku memperhati, ternyata sebanyak orang membenci aku si penolak kodrat
Ilahi, aku jauh membenci diriku sendiri.
Comments
Post a Comment